Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini. Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih. Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik. Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, s...
“Halo? San? Sudah telfon?” “..." “Kamu itu gimana sih, San. Habis ini kamu nggak ketemu dia lagi. Sekali aja lah, habis itu kamu nggak akan ketemu dia lagi, jadi kamu nggak perlu khawatir. Hidup kamu habis ini nggak ada dianya, santai saja.” “Aku ragu, menurutmu sekarang waktu yang tepat?” “Tepat nggaknya, kita gak pernah tahu kalau nggak dicoba, San. Kalau memang dia orangnya, semua waktu akan tepat. Percaya sama aku.” “Ya sudah. Tolong ke Apartment aku sekarang, bajuku tinggal masuk koper.” “Ih, sebentar! Kamu jadi telfon dia nggak?” “Ke apartmentku saja dulu. Nanti aku pikir-pikir lagi.” “Ya ampun! Masih saja dipikir-pikir. Dari lima tahun lalu juga kamu selalu mikir dan nggak akan pernah terjadi.” Aku mematikan sambungan. Berbicara hal ini nggak akan pernah selesai. Karena tindakan itu tidak pernah ada. Aku selalu mengulur, tapi pembahasan itu terus berlanjut, begitu dengan perasaanku sendiri. Rasmi bilang aku harus mengaku, tapi buatku tidak akan pernah ada bedanya. Rasmi bi...