Langsung ke konten utama

Postingan

things i could never say to you -noni

Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini. Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih. Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik. Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, s...
Postingan terbaru

Take A Chance With Me

 “Halo? San? Sudah telfon?” “..." “Kamu itu gimana sih, San. Habis ini kamu nggak ketemu dia lagi. Sekali aja lah, habis itu kamu nggak akan ketemu dia lagi, jadi kamu nggak perlu khawatir. Hidup kamu habis ini nggak ada dianya, santai saja.” “Aku ragu, menurutmu sekarang waktu yang tepat?” “Tepat nggaknya, kita gak pernah tahu kalau nggak dicoba, San. Kalau memang dia orangnya, semua waktu akan tepat. Percaya sama aku.” “Ya sudah. Tolong ke Apartment aku sekarang, bajuku tinggal masuk koper.” “Ih, sebentar! Kamu jadi telfon dia nggak?” “Ke apartmentku saja dulu. Nanti aku pikir-pikir lagi.” “Ya ampun! Masih saja dipikir-pikir. Dari lima tahun lalu juga kamu selalu mikir dan nggak akan pernah terjadi.” Aku mematikan sambungan. Berbicara hal ini nggak akan pernah selesai. Karena tindakan itu tidak pernah ada. Aku selalu mengulur, tapi pembahasan itu terus berlanjut, begitu dengan perasaanku sendiri. Rasmi bilang aku harus mengaku, tapi buatku tidak akan pernah ada bedanya. Rasmi bi...

se·nang a 1 puas dan lega, tanpa rasa susah dan kecewa, dan sebagainya

Sering sekali sebelum tidur alam bawah sadarku bertanya dengan berulangkali karena aku selalu kebingungan menjawabnya. Setelah aku menarik selimut, menghirup aroma pengharum pada seprei bantal, memasang alarm pukul lima, pertanyaan itu akan terus bermunculan. Bagaimana hari ini? Senang tidak? Dan aku selalu kebingungan menjawabnya. Kadang masih tidak mengerti takaran senang, bahagia, suka untuk hal-hal yang aku lewati. Karena sekelilingku yang selalu menyebutkan kapan waktuku untuk senang. Seperti kalau aku bisa berjalan waktu kecil, mungkin mereka bilang, “Pasti seneng kalau bisa naik sepeda.” Atau waktu aku lulus sekolah dasar dengan nilai tertinggi, mereka akan bilang, “Wah, seneng nih kalau bisa dapet SMP yang terbaik.” Kadang aku kebingungan, sebenarnya senang bahagia itu ada dimana, ya? Kenapa mereka selalu dicari-cari ya? Sebenarnya butuh berapa banyak hal untuk mencapai senang? Enam belas tahun aku selalu mencari dimana letak senang yang sebenarnya orang kira. Yang sebenarnya d...

aku cukup dari jauh.

 Aku pendiam di kelas. Bukan karena aku tidak bisa berbicara. Atau karena aku tidak punya teman. Aku lebih suka diam di mejaku. Menunggu guru mata pelajaran selanjutnya masuk tanpa berkeliling ke meja yang lain. Memakan bekalku sendirian tanpa saling berbicara dengan temanku yang lain. Memperhatikan seisi kelas tanpa melakukan apapun ketika jam kosong menuju bel pulang. Sementara dia.. dia paling berisik di kelas. Dia tidak bisa berdiam diri dikursinya. Dia tidak bisa menunggu guru mata pelajaran selanjutnya masuk tanpa berkeliling meja. Entah untuk mengajak temannya berbicara, membahas game semalam yang mereka mainkan, menertawakan temannya yang kalah dalam taruhan pertandingan bola semalam, menyalin tugas matematika sambil membicarakan band kesukaannya yang baru saja rilis album baru. Dia tidak bisa makan sendirian. Dia akan berbicara mengenai PR matematikanya yang mendapat nilai seratus sepanjang koridor menuju kantin. Dia akan memperdebatkan jadwal fustal eskulnya yang bertabr...

Surat-surat Yang di Tinggalkan.

Praja itu banyak bicara. Aku juga banyak bicara. Namun, ia lebih banyak. Praja tidak akan pernah membiarkan sedikitpun bibirku terkunci, ia mencuri gemboknya dan menyuruhku untuk menjadi jawab atas tanda tanya besarnya pada seisi perut bumi. Seolah aku adalah kamus yang ia kantongi di sakunya dan memanggilku kapan saja seperti jin botol ketika dunia lagi-lagi memberi teka-teki persis pada koran miliknya dibawah meja ruang tamu. Kadang Praja memujiku, seharusnya Ibumu melahirkan kamu lebih cepat, Na. Tumbuhlah di masa orde baru. Jual mulutmu dengan harga yang sangat mahal. Tapi, kadang dia juga bilang, terlalu banyak informasi yang kamu dengar, Na. Nanti kamu serakah. Belum bulan Desember. Tapi Ibu sudah kebingungan harus menjemur baju kemeja biru kesukaan Ayah dimana lagi. Belum juga liburan semester. Tapi Praja sudah mengekoriku sejak kemarin meski aku hanya berdiam diri di rumahku. Praja memeluk kasurku pagi-pagi, kadang mencuri mangkok putih yang seharusnya kabur ke lorong jauh di ...

aku hanya menyukaimu.

 Kalau mengingatnya, guru TK-ku pernah mengajariku banyak hal. Perihal segala-gala yang ada di dunia. Kalau mataku dua, hidungku satu, telingaku dua, mulutku satu. Guru TK ku yang masih kuingat bagaimana ia menjelaskan sambil memegang kedua tanganku. Katanya, mata untuk melihat. Hidung untuk menghirup. Telinga untuk mendengar. Dan mulut, untuk berbicara. Dulu, aku taunya begitu. Tapi, itu dulu. Dulu ketika aku mengenal banyak manusia dan menggunakan segala hal yang kupunya sesuai cara kerjanya. Aku melihat segala hal yang ada didepan mataku, aku mendengar seluruh bisik dan berisik-berisik mereka, aku menghirup aroma Ibu usai memasak gulai ikan tongkol, aku berkata dengan lantang ketika guruku bertanya dua kali dua untuk pulang lebih cepat.  Itu jauh kebelakang sebelum aku mengenal bentuk lain bagaimana cara bekerjanya. Tidak semua kata diciptakan untuk aku dengar ditelingaku. Tidak semua hal diciptakan untuk aku lihat dengan mataku. Tidak semua kata diucapkan untuk aku katakan...

Jatuh Cinta Adalah Jatuh-jatuh Yang Paling Kusengajakan.

  Jangan jatuh cinta padamu, katanya. Memang. Aku sengaja hari itu. Aku sengaja mengganti jam belajarku untuk mencari namamu di laman sosial media. Aku sengaja mencari namamu diantara pengikut sosial media temanmu. Aku sengaja mencari fotomu di sosial media temanmu. Aku sengaja mencari letak bulan sabit setiap istirahat di koridor utama menuju kantin. Oh ya? Selega itu lepas dari mata pelajaran matematika, ya? Aku juga sengaja mencari-cari netra penuh kemerlip di antara lautan manusia selepas upacara bendera agar aku bisa mengantonginya nanti. Aku sengaja membuat obrolan menjadi lebih menyenangkan dari malam sebelumnya. Aku sengaja mencari berita yang marak kamu suka agar semakin panjang prakata yang kamu ucap. Aku sengaja mencari lagu favoritmu agar semakin lama waktuku mendengar kamu menyanyikannya. Aku sengaja menonton ulang pertandingan motor balap agar pagi harinya di depan gerbang kita bisa pergi ke kelas bersama sembari menatap mata kita satu sama lain. Aku sengaja mengambil...

Sampai Jejak Sepatu Itu Membekas Di Tanah Tanpa Batas Waktu di Dalamnya.

  Aku suka ketika masih berumur lima tahun. Aku suka sekali ketika dulu masih bebas bicara dan mengatakan apa saja mauku. Aku suka ketika Ayah mengiyakan segala inginku serta anganku pada dunia-dunia yang aku mau. Aku suka bercengkrama dengan diriku sendiri agar nanti ketika mimpi-mimpiku terwujud, aku tidak lagi bingung harus mengucap syukur seperti apa. Tapi sekarang, mimpiku jauh lebih dari itu. Aku tidak lagi mau memiliki kebun binatang. Tidak lagi menginginkan istana yang serba merah muda. Tidak lagi aku mau kereta kuda serta kusirnya. Jauh lebih dari itu, kini lebih sederhana untuk berada di sisimu saja, Dam. Ingin dibuat lebih apik untuk selamanya. Selamanya, sampa kapan? Selamanya hingga apa? Selamanya yang entah aku pun nggak tahu, ya, sampai aku menemukan jawaban selamanya itu sampai kapan, kamu mau, kan, disisiku terus? Tapi, mungkin, Dam, sampai nanti kita bisa menari-nari diatas kolam Taman Ismail Mazuki, sampai nanti jejak kita hangus dimakan air hujan, sampai nanti ...

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 2

 Binar harus dipaksa utuh ketika separuh dunianya menarik paksa untuk terlepas. Ia harus menerima kekalahan pada rasa sakit yang ada. Kalah dari taruhnya membungkam segala-galanya. Pram, aku menyanyangimu lebih dari rasa sayangku pada waktu yang berjalan dan menghimpit dunia kita untuk dipaksa saling bersisian. Kalau rumah yang kamu maksud adalah tempat berteduh, bagiku kamu adalah tanah kepulanganku. Dinding cat krem di setiap incinya adalah sebagian rasa nyamanku ‘tuk beristirahat usai dipaksa kuat walau isinya hanya kepura-puraan. Maka, kamu harus tahu bahwa kesinggahan itu adalah hal terbaik sepanjang masanya. Ruang tamunya, kamar tidurnya, gudang berdebunya, selalu jadi kegemaranku untuk duduk dan tertidur tanpa ingin bangun lagi. Pergilah, Pram. Kemanapun dibawanya rumah itu, kamu tetap menjadi yang terbaik untukku. Kamu ‘kan menjadi patah hati terbaikku, Pram. O0o “Prama hari nggak masuk.” Ada yang selalu bisa menarik atensi perempuan bermata bundar itu. Pertama, seekor anak...

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 1

 “Ayo kita pilih bintangnya. Kamu mau yang mana?” “Itu. Yang paling terang,” begitu ia menjawab tanpa ragu, telunjukknya tepat mengarah tanpa meleset pada setitik cahaya paling berkilau dari bola mata coklatnya. “Kalau diberi nama, menurut kamu siapa namanya?” katanya bertanya tanpa menoleh. “Binar.” “Apa?” “Binar namanya.” Sekarang, ia menoleh. “Aku mau Binar jadi bintang paling terangnya.” “Dasar bego.” “Aduh!” Selimut itu ikut turun memeluk pemiliknya yang baru saja mencium karpet berbulu diatas keramik bercorak. Dielus kepalanya lembut yang baru saja menyapa kaki meja kayu, matanya berusaha membuka dengan nyawa yang ia kumpulkan sedemikian rupa, mengorek darimana asalnya alam bawah sadar ini datang tanpa dipanggil sebelum umpatan itu muncul bersamaan dengan tragedi mengenaskan barusan. “Kali ini aku nggak mau nolongin kamu. Kamu bego.” Perempuan yang masih memakai piyama micky mouse setara dengan seprei tidurnya berusaha berdiri sendiri, wajahnya kecut penuh kesal melihat keda...

pikiran berisik binar.

 Pikiranku berisik, Pram. Persis seperti Alun-alun Semarang yang kamu bilang keramaiannya seperti langkah sepatu kita ketika membolos pertama kali. Berlarian seperti pencuri roti tawar di kedai kue tanpa tahu arah bak kurir tersesat karena kita sama-sama tak memikirkan bagaimana nantinya akan terjebak dalam gudang amarah penjaga sekolah. Saat itu pikiran kita melayang jauh tanpa kenal cemas dan takut. Kita hanya mengenal bahwa aku ada dan kamu ada, sudah bagian dari jalan layang atensi kita. Kini disekitarnya hanya trotoar kecil yang tak sebanding dengan wajahmu, persis seperti lampu-lampu kotanya, kereta-kereta delmannya, atau gedung-gedung kota tua yang tak kalah menawannya.  Aku tak mengenal takut lagi, Pram. Karena aku tau, saat itu kamu ada. Maka untuk apa aku memeluk selimut kala hujan deras jika aku punya dekapan hangat di setiap rintiknya? Karena dulu aku punya teh hangat manis yang bisa kuminum kapan saja tanpa khawatir akan mendingin atau tidak, sebab ia ada pada bul...

perasaan tanpa pamrih.

 Aku nggak begitu ingat sejak kapan itu dimulai. Mungkin, sejak pertemuan kami di kedai thai tea depan sekolah yang selalu menjadi tempat pelarianku sebab kantin membludak ramai. Atau juga, sejak ibu guru menyuruhku membawa sepaket proyektor miliknya untuk kubawakan ke kelasnya. Tapi, bisa juga, sejak ia yang berdiri ditepi lapangan memilih untuk berbicara dengan kucing liar tanpa menghiraukan intruksi Pak Satria untuk praktek bola besar. Sejak-sejak yang entah keberapanya, seolah menjadi kepingan-kepingan mendasarku menjadi perasaan yang sudah-sudah. Yang sekarang aku nggak tahu bentuknya seperti apa dan untuk apa. Aku juga nggak tahu harus mulai darimana atau harus berakhir seperti apa. Aku juga nggak tahu hal ini harus sederhana atau meraja?  Tapi, setelah hal ini- itu yang tak berkesudahan, aku berpikir untuk, sepertinya hal ini tidak perlu dijadikan hal baknya tali. Maksudku, yang tidak ada awal, dan tidak ada ujungnya. Aku rasa, bagiku hal ini tidak perlu selesai. Maka b...

Pagi, Praja dan Na.

  Belum melihat jam tapi aku sudah tau kalau kicauan burung gereja dijendela menyampaikan pesan bahwa hari ini: aku harus dijemur lagi bersama Pak Beni. Ini gara-gara semalam Praja mengajakku bernyanyi hingga lupa alarm pagiku kosong hingga seminggu kedepan. Aku akan berlutut mengusap kaki ibu menghantur maaf bahwa pesan panjang ini-itunya sebelum mengangkat kaki dari rumah tak bisa terlaksana padahal belum ada satu hari ia bicara. Tapi setidaknya, nakalnya anak gadismu ini masih bersama anak laki-laki konyol berambut singa seperti dalam poster Narnia. "Na, bolos saja, yuk?"  "Ayolah, Ja, kamu bisa mengajakku sebelum kita sampai di sekolah. Jangan terlalu banyak menunjukkan kebodohanmu di depan Pak Beni sekarang!" Aku tau itu basa-basinya karena cuaca pagi ini sepanas kicauan Pak Beni dan telingaku dan kakiku dan seluruh tubuhku di samping tiang pusaka ini. Aku tau ini akan menjadi situasi yang panjang dan menyebalkan. Begitu juga pikir Praja yang sekarang bergumam ...

tak ada tempatku di sana

halo, Gema. sudah hampir satu tahun, ya. hampir satu tahun tak ada balon chat di room chat kita. tak ada topik apapun yang membuatku selalu ingin mengulangnya, tak ada obrolan apapun yang membuatku selalu ingin menyimpannya.  dia Gema. Gema tak seperti tokoh fiksi dinovel atau karakter heroik di film. dia memang sempurna, tapi bukan seperti karakter novel atau film, bukan. Gema punya cara berbeda menunjukan kesempurnaannya. entah bagaimana, intinya Gema berbeda. Gema sempurna, tapi tak seperti yang lainnya.  Gema bukan karakter penuh rasa cuek dan sikap dingin, bukan.  Gema hanyalah Gema. pemilik senyum bulan sabit yang selalu membuatku ingin sekali menjadi bintangnya. sayangnya, tempatku bukan disitu. bintangnya itu bukan rumahku.  aku tak akan bisa hadir dirumahnya, aku tak bisa menetap. Gema hanya memberikanku secangkir kopi, yang seharusnya ku ucapkan terima kasih, bukan memberi hatiku untuknya.  kami punya tempat masing-masing.  ia di rumahnya. dan aku...

tak apa, menyukainya.

"ada dua insan langit dan birunya laut yang menatap, tanpa bertemu yang jatuh cinta, tanpa saling menggenggam hai, nona, bagaimana sudahkah merapah hatimu? apa yang kau temukan? cinta tanpa temu? selamat sudah menjadi bulan-bulanan semesta" Siapa kali ini yang terbuai? Aku. Sendirian. "Apa yang kamu harapkan dari hubungan ini?" "Selalu bersama, sampai nanti tua." "Memangnya, diwaktu tua, ada apa sih? Kenapa selalu sampai tua?" "Tua itu ibaratnya, kita sudah bukan lagi manusia. Tidak lagi mengejar, tidak lagi memendam, tidak lagi bersembunyi, bebas seperti anak kecil yang merasa dunia ini serba menyenangkan dimatanya." "Kalau begitu, aku boleh tidak mengejarmu lagi, memendam perasaanku lagi, menyembunyikan terpesonaanku padamu, kan?" "Ya, tentu." "Kamu tahu?" "Apa?" "Aku menyukaimu?" "Tahu." "Terus?" "Nggak papa." Salam dari, Jua. 3 Mei, 2020.

Jarum Jam dan Pukul 12—soon.

"Kamu akan tetap menjadi yang terbaik untukku, Pram. Patah hati yang terbaik." Ketika kita tahu bahwa tokoh utama sejati hanyalah di hidup sendiri.  Aku jadi paham, mengapa manusia suka sekali mementingkan diri sendiri.  o0o "Prama memang membuatku bahagia, Rin. Tapi, Bian. Bian melengkapi kebahagian yang sebelumnya sudah aku punya." Dan aku sadar, perasaan yang ku punya ini akan menjadi keegoisan paling besar. o0o Patah hati yang menggerogoti hati membuatnya menutup pintu masuk hadirnya perasaan. Meski, sulit melupakan Prama, ia tak akan lengah untuk dipatahkan kembali. Lagi pula, hadirnya Bian membuat dirinya melupakan luka terbaiknya itu. Tapi satu fakta ia lupakan, bahwa  ia memang pemilik hatinya. Tapi, ia, bukan pengendalinya. "Kak Bian?" "Ya?" "Kalau aku jatuh cinta, bagaimana?" "Aku tidak bisa membantumu, itu, kan, perasaanmu." "Meski orang itu adalah Kak Bian?" Jarum Jam & Pukul 12 by Jua Zahra