Langsung ke konten utama

aku cukup dari jauh.

 Aku pendiam di kelas. Bukan karena aku tidak bisa berbicara. Atau karena aku tidak punya teman. Aku lebih suka diam di mejaku. Menunggu guru mata pelajaran selanjutnya masuk tanpa berkeliling ke meja yang lain. Memakan bekalku sendirian tanpa saling berbicara dengan temanku yang lain. Memperhatikan seisi kelas tanpa melakukan apapun ketika jam kosong menuju bel pulang.

Sementara dia.. dia paling berisik di kelas. Dia tidak bisa berdiam diri dikursinya. Dia tidak bisa menunggu guru mata pelajaran selanjutnya masuk tanpa berkeliling meja. Entah untuk mengajak temannya berbicara, membahas game semalam yang mereka mainkan, menertawakan temannya yang kalah dalam taruhan pertandingan bola semalam, menyalin tugas matematika sambil membicarakan band kesukaannya yang baru saja rilis album baru. Dia tidak bisa makan sendirian. Dia akan berbicara mengenai PR matematikanya yang mendapat nilai seratus sepanjang koridor menuju kantin. Dia akan memperdebatkan jadwal fustal eskulnya yang bertabrakan dengan jadwal lesnya sambil membuka bungkus gorengan.

Dia yang menyikut teman sebangkunya ketika guru tiba-tiba melontarkan pertanyaan padanya saat dipertengahan penjelasan materi berlangsung. Semua orang tahu karena dia tidak pernah mendengarkan. Tapi dia tetap menjawab meski hanya mengudang tawa seisi kelas. Buruk-buruknya juga mengundang bala amarah sang guru.

Dia yang tahu-tahu datang terlambat dan mengendap-endap masuk lewat jendela ketika guru menghadap ke papan tulis. Dia yang namanya selalu disebut untuk di sapa ketika melewati koridor kakak kelas. Dia yang namanya selalu mendapatkan teriakan guru ketika bola basket hilang di gudang padahal tidak ada jadwal pelajaran olahraga di kelas manapun.

Dia yang selalu menjadi tuduhan utama pembuat kekacauan kelas seperti ketika kabur piket kelas, pulpen yang hilang, makanan yang ditinggal sebentar lalu hilang separuhnya atau saat diundurnya ujian hanya karena ingatannya yang tidak sepanjang jari atau tubuhnya untuk membawa pensil 2B.

Sebelumnya tidak pernah ada lelucon guru yang terdengar untuk menggelitik perutku. Tidak ada juga gurauan yang temanku lontar untuk menarik lebar bibirku. Sebelum aku benar-benar mendengar bagaimana caranya menjawab pertanyaan guru tanpa tahu menahu jelas apa pertanyaannya. Sebelum aku benar-benar mendengar bagaimana caranya menjelaskan materi yang terpampang oleh proyektor yang aku yakin dia tidak tahu tengah membahas apa. Sebelum aku benar-benar mendengar bagaimana caranya menimpali temannya dengan gurauan klasik seperti,

“Bika ambon itu yang buat orang Medan, tapi bikinnya di Ambon!”

Atau ketika dia menjawab pertanyaan selepas liburan semester seperti, “Eh, lo pergi kemana liburan?” Terus, dia cuman jawab sambil menyalin kunci jawaban pilihan ganda mata pelajaran sejarah, “Kemana aja, asal nggak pergi ke Tuhan.”

Aku tidak tahu kenapa menulis ini. Aku tidak tahu kenapa harus menceritakan banyak hal tentangnya seolah aku orang terdekatnya.

Seolah-olah.. aku temannya yang selalu diajaknya kekantin, temannya yang selalu dimintainya contekan PR, temannya yang selalu menjadi gudang alat tulis, temannya yang selalu diajak bergurau, temannya membolos dari jurusan IPS, teman dispen futsalnya dari jurusan Bahasa, dan teman-temannya yang lain yang saking banyaknya, ia dikenal lebih dari aku mengenal siapa itu wali kota ku tinggal.

Yang padahal, kami tidak pernah punya sebutan apapun. Entah teman, bahkan untuk orang yang saling mengenal pun rasanya tidak meski kami sudah sekelas sejak dua tahun lalu. Iya. Aku tidak terlihat dimatanya meski kami berpas-pasan ketika mengumpulkan buku tulis ke meja guru. Aku tidak terlihat dimatanya padahal jadwal piket kelas kami ada di hari yang sama. Aku tidak terlihat dimatanya padahal absen kami bersebelahan ketika disebut guru.

Aku juga tidak pernah mengerti. Hal ini berjalan seperti itu layaknya ia memang semudah itu untuk dikagumi. Atau.. ia selayak itu. Antara aku yang terlalu mudah jatuh cinta, atau dia yang terlalu mudah untuk dicintai.

Figurnya yang hangat dan nyaman untuk siapapun, juga pada yang tidak memiliki prakata ruang apapun padanya, ia memang pantas untuk disayangi.

Maka, tidak bisa dipungkiri bahwa akan ada banyak kasih sayang yang ia terima. Entah dari sedekat itu, atau sejauh aku.









Di tulis oleh Jua Zahra.

7-02-2023.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

things i could never say to you -noni

Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini. Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih. Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik. Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, s...

Jarum Jam dan Pukul 12—soon.

"Kamu akan tetap menjadi yang terbaik untukku, Pram. Patah hati yang terbaik." Ketika kita tahu bahwa tokoh utama sejati hanyalah di hidup sendiri.  Aku jadi paham, mengapa manusia suka sekali mementingkan diri sendiri.  o0o "Prama memang membuatku bahagia, Rin. Tapi, Bian. Bian melengkapi kebahagian yang sebelumnya sudah aku punya." Dan aku sadar, perasaan yang ku punya ini akan menjadi keegoisan paling besar. o0o Patah hati yang menggerogoti hati membuatnya menutup pintu masuk hadirnya perasaan. Meski, sulit melupakan Prama, ia tak akan lengah untuk dipatahkan kembali. Lagi pula, hadirnya Bian membuat dirinya melupakan luka terbaiknya itu. Tapi satu fakta ia lupakan, bahwa  ia memang pemilik hatinya. Tapi, ia, bukan pengendalinya. "Kak Bian?" "Ya?" "Kalau aku jatuh cinta, bagaimana?" "Aku tidak bisa membantumu, itu, kan, perasaanmu." "Meski orang itu adalah Kak Bian?" Jarum Jam & Pukul 12 by Jua Zahra

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 2

 Binar harus dipaksa utuh ketika separuh dunianya menarik paksa untuk terlepas. Ia harus menerima kekalahan pada rasa sakit yang ada. Kalah dari taruhnya membungkam segala-galanya. Pram, aku menyanyangimu lebih dari rasa sayangku pada waktu yang berjalan dan menghimpit dunia kita untuk dipaksa saling bersisian. Kalau rumah yang kamu maksud adalah tempat berteduh, bagiku kamu adalah tanah kepulanganku. Dinding cat krem di setiap incinya adalah sebagian rasa nyamanku ‘tuk beristirahat usai dipaksa kuat walau isinya hanya kepura-puraan. Maka, kamu harus tahu bahwa kesinggahan itu adalah hal terbaik sepanjang masanya. Ruang tamunya, kamar tidurnya, gudang berdebunya, selalu jadi kegemaranku untuk duduk dan tertidur tanpa ingin bangun lagi. Pergilah, Pram. Kemanapun dibawanya rumah itu, kamu tetap menjadi yang terbaik untukku. Kamu ‘kan menjadi patah hati terbaikku, Pram. O0o “Prama hari nggak masuk.” Ada yang selalu bisa menarik atensi perempuan bermata bundar itu. Pertama, seekor anak...