Langsung ke konten utama

Sampai Jejak Sepatu Itu Membekas Di Tanah Tanpa Batas Waktu di Dalamnya.

 

Aku suka ketika masih berumur lima tahun. Aku suka sekali ketika dulu masih bebas bicara dan mengatakan apa saja mauku. Aku suka ketika Ayah mengiyakan segala inginku serta anganku pada dunia-dunia yang aku mau. Aku suka bercengkrama dengan diriku sendiri agar nanti ketika mimpi-mimpiku terwujud, aku tidak lagi bingung harus mengucap syukur seperti apa.

Tapi sekarang, mimpiku jauh lebih dari itu. Aku tidak lagi mau memiliki kebun binatang. Tidak lagi menginginkan istana yang serba merah muda. Tidak lagi aku mau kereta kuda serta kusirnya.

Jauh lebih dari itu, kini lebih sederhana untuk berada di sisimu saja, Dam. Ingin dibuat lebih apik untuk selamanya. Selamanya, sampa kapan? Selamanya hingga apa? Selamanya yang entah aku pun nggak tahu, ya, sampai aku menemukan jawaban selamanya itu sampai kapan, kamu mau, kan, disisiku terus?

Tapi, mungkin, Dam, sampai nanti kita bisa menari-nari diatas kolam Taman Ismail Mazuki, sampai nanti jejak kita hangus dimakan air hujan, sampai nanti ambu kita lenyap dipeluk api unggun, sampai nanti masinis kereta kebingungan kenapa selalu ada kita di gerbong pertamanya, sampai nanti gunung-gunung, danau-danau, laut-laut, pantai-pantai, akan bosan melihat netra kita yang saling beradu dihadapan mereka. Sampai nanti aku tidak lagi mengenal waktu untuk terus ada di sisimu, apa bisa menjadi jawab atas selamanya?

Sebab, selama kamu ada, tanpa sangka-sangka meletupkan mimpi-mimpi burukku, melipatnya diatas awan hingga percikannya hilang dimakan langit hitam jelaga. Segala hal menjadi jawab akan tanya besarku. Semuanya menjadi janji yang tepat tanpa ingkar apapun. Seperti Tuhan menurunkan pangeran berkuda yang siap membawaku pada akhir cerita yang selalu menuliskan bahagia selamanya.

Jadi, tolong menetap lebih lama. Lebih lama dari tangisanku di kolong ranjang. Lebih lama dari air mataku yang membanjiri laci kamar. Lebih lama dari tawa pujangga kemarin ketika senja, lebih lama dari tawamu, Dam. Buat lebih lama lagi, denganku esok. Denganku esoknya lagi. Denganku esoknya lagi dan lagi. Sampai renta nanti bibirmu akan terus tersungging lebar dengan mata menyipit dan kulit mengkerut, aku harap selamanya akan lebih lama dari itu. Bisa, ya, Dam?









Ditulis oleh Jua Zahra.

9-1-2023.


Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

things i could never say to you -noni

Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini. Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih. Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik. Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, s...

Jarum Jam dan Pukul 12—soon.

"Kamu akan tetap menjadi yang terbaik untukku, Pram. Patah hati yang terbaik." Ketika kita tahu bahwa tokoh utama sejati hanyalah di hidup sendiri.  Aku jadi paham, mengapa manusia suka sekali mementingkan diri sendiri.  o0o "Prama memang membuatku bahagia, Rin. Tapi, Bian. Bian melengkapi kebahagian yang sebelumnya sudah aku punya." Dan aku sadar, perasaan yang ku punya ini akan menjadi keegoisan paling besar. o0o Patah hati yang menggerogoti hati membuatnya menutup pintu masuk hadirnya perasaan. Meski, sulit melupakan Prama, ia tak akan lengah untuk dipatahkan kembali. Lagi pula, hadirnya Bian membuat dirinya melupakan luka terbaiknya itu. Tapi satu fakta ia lupakan, bahwa  ia memang pemilik hatinya. Tapi, ia, bukan pengendalinya. "Kak Bian?" "Ya?" "Kalau aku jatuh cinta, bagaimana?" "Aku tidak bisa membantumu, itu, kan, perasaanmu." "Meski orang itu adalah Kak Bian?" Jarum Jam & Pukul 12 by Jua Zahra

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 2

 Binar harus dipaksa utuh ketika separuh dunianya menarik paksa untuk terlepas. Ia harus menerima kekalahan pada rasa sakit yang ada. Kalah dari taruhnya membungkam segala-galanya. Pram, aku menyanyangimu lebih dari rasa sayangku pada waktu yang berjalan dan menghimpit dunia kita untuk dipaksa saling bersisian. Kalau rumah yang kamu maksud adalah tempat berteduh, bagiku kamu adalah tanah kepulanganku. Dinding cat krem di setiap incinya adalah sebagian rasa nyamanku ‘tuk beristirahat usai dipaksa kuat walau isinya hanya kepura-puraan. Maka, kamu harus tahu bahwa kesinggahan itu adalah hal terbaik sepanjang masanya. Ruang tamunya, kamar tidurnya, gudang berdebunya, selalu jadi kegemaranku untuk duduk dan tertidur tanpa ingin bangun lagi. Pergilah, Pram. Kemanapun dibawanya rumah itu, kamu tetap menjadi yang terbaik untukku. Kamu ‘kan menjadi patah hati terbaikku, Pram. O0o “Prama hari nggak masuk.” Ada yang selalu bisa menarik atensi perempuan bermata bundar itu. Pertama, seekor anak...