Binar harus dipaksa utuh ketika separuh dunianya menarik paksa untuk terlepas. Ia harus menerima kekalahan pada rasa sakit yang ada. Kalah dari taruhnya membungkam segala-galanya.
Pram, aku menyanyangimu lebih dari rasa sayangku pada waktu yang berjalan dan menghimpit dunia kita untuk dipaksa saling bersisian. Kalau rumah yang kamu maksud adalah tempat berteduh, bagiku kamu adalah tanah kepulanganku. Dinding cat krem di setiap incinya adalah sebagian rasa nyamanku ‘tuk beristirahat usai dipaksa kuat walau isinya hanya kepura-puraan. Maka, kamu harus tahu bahwa kesinggahan itu adalah hal terbaik sepanjang masanya. Ruang tamunya, kamar tidurnya, gudang berdebunya, selalu jadi kegemaranku untuk duduk dan tertidur tanpa ingin bangun lagi. Pergilah, Pram. Kemanapun dibawanya rumah itu, kamu tetap menjadi yang terbaik untukku. Kamu ‘kan menjadi patah hati terbaikku, Pram.
O0o
“Prama hari nggak masuk.”
Ada yang selalu bisa menarik atensi perempuan bermata bundar itu. Pertama, seekor anak kucing kesayangan di komplek rumahnya. Kedua, adalah hal-hal yang sekarang fana rasanya untuk dikatakan.
“Sudahlah, Rin.”
Oh ya? Sudah apa, Nar? Sudahkah cukup dengan pernyataan itu saja tanyamu terjawab perihal tadi pagi di depan kelasnya tak ada sepatu hitam pekat miliknya berjejer di rak seperti sepatu lain?
“Kamu tahu, kan, kalau minggu depan olimpiade Surabaya-nya?” Karina bergumam, “ah, kamu baru putus kemarin, pasti sudah tahu, sih.”
“Rin, jangan menyebalkan begini. Anggap saja aku mati kemarin malam, sekarang roh-ku untuk menghantui.”
“Oke-oke.” Karina terkekeh kecil. Kalau soal perkara mencari masalah, Karina selalu jagonya. Kalau bukan karena Binar memiliki kesabaran setebal buku fisika kelas dua belas, hubungan mereka sudah tidak ada sejak awal berkenalan di kelas awal SMA. Dan, kalau bukan karena hanya Karina salah satu temannya yang paling berbeda karena gadis itu tidak memiliki potensi kepintaran apapun, entah tutur atau otaknya yang sekarang hanya terisi Park Hyung Ssik, Binar juga tidak mau mengenal lama gadis itu.
Tapi, kalau menurut Karina, berteman dengan Binar tetap saja seperti berteman dengan orang bego meski namanya selalu tertulis di angka pertama ketika pembagian rapot.
Tarikan fakta bahwa orang pintar matematika, bukan berarti pintar segala-galanya bak orang kata pintar matematika adalah maha dewa dari segala permasalahan hidup hanya karena matematika adalah rumusan masalah yang paling sulit di pecahkan. Angka-angka itu tidak ada apa-apanya dengan rumus memanusiakan-manusia. Segala hal tentang manusia lebih rumit ditebak apalagi dipecahkan dibanding menghafal sifat-sifat logaritma.
“Tapi, sungguhan, seharusnya kamu juga nggak perlu masuk hari ini.”
“Kamu yang memintaku masuk hari ini, Karina.”
“Hahahah, iya. Tapi seharusnya kamu beristirahat saja di rumah.”
“Rumahku untuk beristirahat sudah tidak ada lagi, Rin.”
Jika dulu Binar kira Prama adalah salah satu pilihan pelabuhan kapalnya mencari, kini ia tersadar bahwa ternyata Prama adalah satu-satunya pilihan pelabuhannya.
Tidak ada lagi yang bersedia membuka telingnya lebar-lebar hanya untuk bercerita tentang apakah bunga sepatu bisa di poles juga oleh tukang sol, apakah matahari berbentuk bulat atau juga bisa berbentuk segitiga, atau apakah sebenarnya kita ini buta atau memang Tuhan membatasinya seperti kala aku tidak bisa menebak bayangannya ketika pemadaman terjadi dibawah lelehan lilin yang terbakar ¾ dari utuhnya. Entahlah. Aku merasa bahwa terlalu banyak bicara. Tapi aku juga merasa bahwa denganmu akulah pendongengnya. Aku merasa akulah penulisnya. Akulah pengendali ceritanya, aku yang menyusun skenario akan kita hingga terciptanya akhir seperti apa rupa yang kuinginkan.
Sebenarnya aku bisa menjelaskan ini dengan tapi. Tapi nyatanya. Tapi ternyata. Tapi faktanya. Tapi, bahwasanya akulah ternyata penulis yang paling buruk. Aku tidak bisa menyusun kosa kata dari kamus-kamus Prama. Aku paling bodoh dalam menyusun paragrafnya. Lantas, semesta andil memberiku peluru bahwa pada nyatanya tidak pernah ada cerita yang aku tulis. Tidak pernah ada akhir yang aku tentukan. Tidak pernah ada akhir yang aku inginkan.
Seburuk itu, Pram.
Bahkan aku tahu berapa kali Tuhan menertawakanku ketika menerka-nerka di setiap malamnya. Tapi begitu, Pram. Begitu bagaimana caraku tetap menyukai ceritanya. Meski aku tidak ada di akhir ceritanya, aku tetap suka ceritanya. Karena ada kamu di setiap lembarnya. Semesta menyusun ceritanya dengan apik. Ia membawa namamu di setiap paragrafnya, ia tak melewatkanmu sebagaimana adanya tokoh utama.
O0o
“Kamu nggak langsung pulang?”
“Batas pengembalian bukuku hari ini.”
“Buku apalagi? Masih bukunya Sapardi?” Apalagi, kata Karina yang mengatakan secara tidak langsung bahwa sesering itu Binar membaca buku. Yah, meski tidak sekutu buku itu di rasa, namun membaca narasi-narasi itu setiap hari terkadang membuatnya senang. Ia seperti melihat dunia lain yang lebih menyenangkan dari bumi yang ditinggalinya. Seperti angan-angan yang tidak pernah ada, namun dibuku terjadi dengan begitu mudahnya.
“Iya, Rin. Buku yang terakhir kamu tidak sengaja duduki di kasurku.”
Binar mengernyit ketika Karina mendengus. “Yah, sudah. Aku harap kamu tidak akan cepat tua seperti cover dan judulnya, Sepasang Sepatu Tua.”
“Aneh kamu. Aku justru berharap akan menjadi seperti dalam covernya.”
“Maksudnya?”
“Berpasangan seperti sepatu dan menua bersama. Begitu maksudnya, Karina Duhita.”
Hanya satu orang yang setiap hari dan waktunya memanggil Karina dengan nama lengkapnya.
“Oh, hai, Nar. Sudah selesai baca bukunya?” Namanya Tamrin. Si laki-laki berkulit sawo matang dengan rambut ikal keturunan timurnya. Yang setiap hari berkelana dengan sepeda berwarna merah tanpa standar.
Binar tersenyum. “Iya, Tam. Kamu sudah selesai baca bukunya juga?”
“Ah, aku sudah lama. Bukunya sudah lebih dulu kukembalikan.”
“Kalau gitu nanti malam telfon lagi bagaimana?”
“Ayo. Akan kita bahas sampe bukunya mengakar terus dikepalaku.”
“Ya, ya, ya. Aku pulang duluan. Sebelum kepalaku pecah,” kata Karina memotong pembahasan ditengah-tengah mereka. Gadis itu hendak pergi ke halte, sebelum Tamrin menahan lengannya.
Ah, ini sudah bisa diketahui. Iya. Tamrin si puitis yang namanya selalu bertengger dalam mading sebagai pemenang lomba menulis puisi tiap tahunnya, dan Karina gadis yang—ah, entahlah. Tidak ada apa-apanya mungkin sudah cukup, kata Binar.
Namun, kata Tamrin, Karina memiliki apa-apa yang Tamrin anggap sempurna dimatanya.
Perjalanan menggunakan kereta akan memakan waktu yang cukup lama. Binar mendapatkan satu tempat untuk duduk dan mendengarkan band favoritnya sebelum benar-benar akan turun di Cikini. Sheila On7 bukan pilihan yang tepat sebenarnya. Namun, lagu baru darinya terputar lebih dulu.
Saat kau di sisiku
Kembali dunia ceria
Tegaskan bahwa kamu
Anugerah terindah yang pernah kumiliki
Binar menyandarkan punggung dan kepalanya pada sisi gerbong kereta dengan mata yang perlahan terpejam.
Orang mungkin tidak pernah tahu seburuk apa Pram padanya. Namun, orang lain juga tidak pernah tahu sebaik apa Pram padanya. Membenci Pram terasa tidak begitu pantas dilakukan. Lebih banyak rasa senang yang pemuda itu beri. Jadi, tidak sebanding jika harus menganggapnya jahat hanya karena satu alasan.
O0o
Binar tidak sepintar Pram yang lulus tes olimpiade mewakili sekolah. Kelasnya juga tidak seunggul yang Pram tempati. Meski sudah memasuki kelas dua belas semester dua, laki-laki itu didesak sekolah untuk menyelesaikan satu olimpiade lagi sebelum batang emas milik sekolah itu pergi meninggalkan nama alumni di sana.
Binar juga tidak se-pasif Pram. Kegiatannya hanya belajar, les, olimpiade, bimbel, belajar, les, olimpiade, begitu terus. Ya, kadang-kadang diselingi basket karena hanya itu kesukaannya sejak kecil. Tapi, organisasi seperti yang Binar ikuti layaknya OSIS, Remaja Kota, Pram tidak pernah tertarik mengikutinya. Baginya, untuk kenal dengan banyak orang menguras banyak tenaga dan Pram tidak mau tenaganya habis. Katanya, ia hanya punya sedikit. Dan, Ibunya berharap cukup untuk menunjang pendidikannya saja.
“Tumben bawa handphone dan dompet aja?”
“Eh? Kenapa Mas?”
“Biasanya bawa pacarnya, Mbak. Hehehe.”
Petugas perpustakaan yang menyaksikannya memindahkan barang penting ke dalam totebag transparan untuk memasuki area perpustakaan, lalu bertanya demikian.
Apa sesering itu ya?
“Iya, hari ini sendiri, Mas.”
“Oh.. kemana emang, Mbak?”
“Gak kemana-mana. Emang putus aja.”
“Oh.. he? Putus?”
Binar tersenyum. Langkahnya berlalu tanpa menanggapi lebih banyak.
Buku-bukunya harum. Selain mencintai bagaimana cara ia melihat kehidupan lain dengan membaca, ambu disetiap lembarnya seolah adalah mantra parfum paling menenangkan. Binar seakan punya teman lain yang hidup direlung hatinya setiap kali ia membaca.
Kali ini ia berniat menghabiskan buku kumpulan puisi Chairil Anwar, Rivai Apin, serta Asrul Sani. Adalah rekomendasi dari Tamrin pekan lalu. Katanya, buku-buku Chairil tidak kalah bagus dibanding milik Sapardi. Buku bersampul kuning serta putih yang saling mendominasi itu Binar tarik udara ambunya. Aroma buku lama seperti kopi cappucino yang membercak pada setiap ujung lembar bukunya selalu membuat Binar candu dengan buku.
“Hati-hati. Jangan sampai di makan juga.”
Binar terhenyak menjauhkan kepalanya dari buku yang ia genggam. Secara naluri menoleh ke sumber suara, mendapati laki-laki berawakan tinggi berdiri tak jauh darinya tengah membalik-balik halaman buku.
Gadis itu menoleh ke kanan kiri. Tidak ada orang lain selain mereka diantara dua rak yang menghimpit sisi mereka. Maka, Binar yakin laki-laki itu tidak tengah berbicara sendiri—atau iya?
“Kakak lagi ngomong sama aku?”
“Nggak. Lagi ngomong sama tokoh dibuku.”
Kening itu mengernyit. Binar yakin laki-laki itu tidak sepenuhnya berkata jujur. Tapi tidak bisa dibohongi juga bahwa kadang kala Binar seringkali berbicara dengan tokoh-tokoh buku yang ia baca. Entah dengar atau tidak. Entah tahu atau tidak. Binar hanya… membicarakan sesuatu dengan si tokoh seolah-olah tokoh tersebut nyata dihadapannya.
“Kenapa? Gak pernah?”
Laki-laki itu bersuara lagi. Dengan tampang bodohnya Binar menoleh kanan kiri lagi. Dan tetap tidak ada siapa-siapa di sana selain mereka.
Kali ini Binar balik bertanya, “Kakak masih bicara sama tokoh dibukunya?”
Bukunya ditutup. Binar dibuat terperangah.
Itu buku kumpulan resep makanan khas Eropa!
“Nggak.”
“Terus? Sama siapa lagi?”
“Siapa nama lo kalo gitu?”
“Aku?”
“Iya.”
“Binar. Kenapa?”
“Ya. Gue lagi ngomong sama Binar berarti.”
Orang aneh. Begitu kepala Binar memyimpulkan. Dahi gadis itu menyatu kebingungan. Bingung harus melakukan apa karena laki-laki dihadapannya hanya memandang ke arahnya tanpa bergerak dari sandarannya pada rak buku.
“Ya.. terus? Kenapa? Kakak nggak suka aku nyium harum buku?” Binar bertanya usai kepalanya mencerna. Laki-laki ini jelas tidak pernah berbicara pada penulis resep makanan Eropa, kan? Dia juga tidak mungkin berbicara dengan orang diluar rak mereka berada, kan?
“Memiliki perasaan unik setiap membaca buku yang jarang orang rasain,”
“Lo sesayang itu ya, sama buku?”
Ada apa sih dengan orang ini?
Dahi Binar semakin mengerut, otaknya tidak bisa mencerna apa yang laki-laki itu tuturkan. Memang bahasanya yang terlalu tinggi atau Binar yang kelewat bodoh? Ah, tapi, masa, sih? Nilai Bahasa Indonesia Binar selalu diangka sempurna, kok.
“Maksudnya?”
“Kalo sampe seribu tahun lo masih ngerasain perasaan unik itu, artinya rasa sayang lo sedalam itu.”
“Hm?”
“Jadi, jangan pernah berhenti membaca, ya.”
Nilai Bahasa Indonesia tidak ada apa-apanya rupanya.
“Gue penjaga perpustakaan. Tolong jangan dihirup dalam-dalam ya. Takut ada bulu hidungnya.”
Apa?
Apa katanya?!
Mata Binar membulat. Ia juga menatap kartu nama yang mengalungi leher laki-laki itu.
PIBI – Perpustakaan Jakarta.
Pibi. Namanya Pibi.
“Aku nggak—”
“Selamat membaca.” Laki-laki itu memotong lebih dulu, lalu berjalan melewati tubuh Binar yang sukses mematung tak berkutik. Ia bisa menghirup aroma citrus bercampur white musk dari kemeja kotak-kotak coklat yang laki-laki itu kenakan ketika melewatinya. Juga kala kakinya menapak pada ubin yang sama dengannya. Binar yakin pasti tidak ada yang salah dari aroma cappucino yang menempel dikemejanya karena mungkin selepas makan siang, kafe di depan Perpustakaan menjadi tempatnya beristirahat.
Kini, laki-laki itu mendadak seperti buku Tiga Menguak Takdir yang Binar hirup aromanya.
o0o
Komentar
Posting Komentar