Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini.
Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih.
Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik.
Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, seperti Ibunya. Kehangatan tumbuh di rumah Wan. Di sela-sela sofa ruang keluarga, di setiap jengkal dan langkah mereka menyusuri luar rumah, dan di sela obrolan grup mereka. Wan tumbuh dengan hangat dan baik.
Wan pintar. Aku nggak tahu dia rajin atau nggak. Karena setiap kutanya sedang apa, jawabannya hanya menonton film action, live streaming game bersama teman-temannya, atau makan. Dia punya teman, lumayan banyak menurutku. Teman dari masa sekolah menengah pertamanya masih terjaga untuk sekedar live streaming atau nggak tahu lah aku kegiatan mereka apa. Teman sekolah menengah atasnya sekarang juga banyak, menurutku ya.. Wan itu seperti anak laki-laki seumurannya yang biasa-biasa aja.
Aku berada di jurusan yang sama dengan Wan. Tapi aku nggak sepinter dia. Aku juga nggak tahu kenapa harus ambil jurusan ini, setelah hampir dua tahun, aku benar-benar menyesal. Kecuali setiap Wan membantuku untuk mengerjakan tugasku, rela membuka buku-buku lamanya ketika duduk di bangku kelasku untuk membuka rumus yang aku butuhkan. Wan suka berbicara mengenai nilai-nilai kami. Dia suka belajar, kalau bicara mengenai nilainya yang jelek itu hanya pencintraannya saja, dia tetap Wan yang pintar.
Wan tidak pernah dipanggil kakak di rumah. Dia bungsu yang disayangi. Makanya aku suka manggil namanya sebagai Kak Wan.
Aku suka membicarakan tentang Wan yang padahal ucapanku tidak ada apa apanya. Aku seolah sudah mengenalnya sejak lama, menuliskan paragraf tentangnya dan memujinya berulang-ulang kali, sesekali merasa bersalah karena sudah memakai namanya untuk tulisan yang bahkan bisa dibilang karanganku.
Tapi, kalau Wan membaca ini, mungkin aku udah nggak bakal nulis lagi soal Wan. Aku malu banget soalnya.
Komentar
Posting Komentar