Langsung ke konten utama

tak ada tempatku di sana





halo, Gema. sudah hampir satu tahun, ya. hampir satu tahun tak ada balon chat di room chat kita. tak ada topik apapun yang membuatku selalu ingin mengulangnya, tak ada obrolan apapun yang membuatku selalu ingin menyimpannya. 

dia Gema. Gema tak seperti tokoh fiksi dinovel atau karakter heroik di film. dia memang sempurna, tapi bukan seperti karakter novel atau film, bukan. Gema punya cara berbeda menunjukan kesempurnaannya. entah bagaimana, intinya Gema berbeda. Gema sempurna, tapi tak seperti yang lainnya. 

Gema bukan karakter penuh rasa cuek dan sikap dingin, bukan. 

Gema hanyalah Gema. pemilik senyum bulan sabit yang selalu membuatku ingin sekali menjadi bintangnya.

sayangnya, tempatku bukan disitu. bintangnya itu bukan rumahku. 

aku tak akan bisa hadir dirumahnya, aku tak bisa menetap. Gema hanya memberikanku secangkir kopi, yang seharusnya ku ucapkan terima kasih, bukan memberi hatiku untuknya. 

kami punya tempat masing-masing. 

ia di rumahnya.

dan aku di rumahku.

kami berbeda, tak akan bisa seatap.

aku bisa apa

rumahnya terasa terlalu indah ku tempati.

rasaku terasa terlalu memaksa untuk diterima.

tempatku tak ada di sana, 

dihatinya.

ya, pada akhirnya, aku kembali melakukannya, 

bersembunyi pada kolong kasur, berteman pada tempat tidurku.






Salam dari,
Jua.

13 Juni 2021.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

things i could never say to you -noni

Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini. Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih. Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik. Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, s...

pikiran berisik binar.

 Pikiranku berisik, Pram. Persis seperti Alun-alun Semarang yang kamu bilang keramaiannya seperti langkah sepatu kita ketika membolos pertama kali. Berlarian seperti pencuri roti tawar di kedai kue tanpa tahu arah bak kurir tersesat karena kita sama-sama tak memikirkan bagaimana nantinya akan terjebak dalam gudang amarah penjaga sekolah. Saat itu pikiran kita melayang jauh tanpa kenal cemas dan takut. Kita hanya mengenal bahwa aku ada dan kamu ada, sudah bagian dari jalan layang atensi kita. Kini disekitarnya hanya trotoar kecil yang tak sebanding dengan wajahmu, persis seperti lampu-lampu kotanya, kereta-kereta delmannya, atau gedung-gedung kota tua yang tak kalah menawannya.  Aku tak mengenal takut lagi, Pram. Karena aku tau, saat itu kamu ada. Maka untuk apa aku memeluk selimut kala hujan deras jika aku punya dekapan hangat di setiap rintiknya? Karena dulu aku punya teh hangat manis yang bisa kuminum kapan saja tanpa khawatir akan mendingin atau tidak, sebab ia ada pada bul...

Jarum Jam dan Pukul 12—soon.

"Kamu akan tetap menjadi yang terbaik untukku, Pram. Patah hati yang terbaik." Ketika kita tahu bahwa tokoh utama sejati hanyalah di hidup sendiri.  Aku jadi paham, mengapa manusia suka sekali mementingkan diri sendiri.  o0o "Prama memang membuatku bahagia, Rin. Tapi, Bian. Bian melengkapi kebahagian yang sebelumnya sudah aku punya." Dan aku sadar, perasaan yang ku punya ini akan menjadi keegoisan paling besar. o0o Patah hati yang menggerogoti hati membuatnya menutup pintu masuk hadirnya perasaan. Meski, sulit melupakan Prama, ia tak akan lengah untuk dipatahkan kembali. Lagi pula, hadirnya Bian membuat dirinya melupakan luka terbaiknya itu. Tapi satu fakta ia lupakan, bahwa  ia memang pemilik hatinya. Tapi, ia, bukan pengendalinya. "Kak Bian?" "Ya?" "Kalau aku jatuh cinta, bagaimana?" "Aku tidak bisa membantumu, itu, kan, perasaanmu." "Meski orang itu adalah Kak Bian?" Jarum Jam & Pukul 12 by Jua Zahra