Aku nggak begitu ingat sejak kapan itu dimulai. Mungkin, sejak pertemuan kami di kedai thai tea depan sekolah yang selalu menjadi tempat pelarianku sebab kantin membludak ramai. Atau juga, sejak ibu guru menyuruhku membawa sepaket proyektor miliknya untuk kubawakan ke kelasnya. Tapi, bisa juga, sejak ia yang berdiri ditepi lapangan memilih untuk berbicara dengan kucing liar tanpa menghiraukan intruksi Pak Satria untuk praktek bola besar. Sejak-sejak yang entah keberapanya, seolah menjadi kepingan-kepingan mendasarku menjadi perasaan yang sudah-sudah. Yang sekarang aku nggak tahu bentuknya seperti apa dan untuk apa. Aku juga nggak tahu harus mulai darimana atau harus berakhir seperti apa. Aku juga nggak tahu hal ini harus sederhana atau meraja?
Tapi, setelah hal ini- itu yang tak berkesudahan, aku berpikir untuk, sepertinya hal ini tidak perlu dijadikan hal baknya tali. Maksudku, yang tidak ada awal, dan tidak ada ujungnya. Aku rasa, bagiku hal ini tidak perlu selesai. Maka begitu, tidak perlu dimulai. Aku ingin menikmati ini sebagai hal yang tak akan membebaniku, aku ingin menikmatinya seolah aku seorang kurir yang siap menyalurkan kasih dan sayangku sebanyak yang aku mau, tanpa perlu tahu pemilik alamatnya tahu atau tidak. Aku ingin menikmatinya seolah aku si pemilik dunia yang bebas menganggumi isi-isinya. Aku ingin menikmatinya seolah aku tertidur pulas dalam ranjang, dan tidak pernah bangun lagi agar aku tetap di sana—dengan perasaan panjang tanpa sudah yang akan kujaga tanpa usai dan selesai.
Ini tentang sebuah porsi. Bagiku, untuk tahu bahwa salah satu pengisi dunia di belahan bumi tempatku tinggal ternyata ada insan yang bernapas baik tanpa celah kesempurnaan, membuatku sudah merasa cukup. Untuk tahu bahwa kamu tidak pernah keluar jam istirahat, memilih untuk bermain ponsel di dalam kelas tepat di depan sepoi kipas angin. Untuk tahu bahwa kamu tidak pernah mau mengikuti pelatihan senam, memilih untuk di dalam kelas berdiam diri untuk tertidur. Untuk tahu dimana kamu berada ketika perayaan sumpah pemuda yang bersorai-sorai di lapangan. Untuk tahu dimana kamu berbaris ketika upacara bendera di hari senin. Aku rasa, untuk tahu akan hal itu sudah sangaaat berharga bagiku. Aku tak perlu menuntun keinginan apapun pada Yang Mulia di sana. Karena Dia sudah memberi banyak sekali tanpa aku pinta. Garis takdir-Nya sudah lebih dari cukup menulis pertemuan tentang kita. Atau, dibanding itu, aku lebih merasa senang karena Dia juga menurunkanmu sebagai insan dunia. Menjadikan aku dan kamu dalam satu tempat sebagai nama yang sama. Jadi, untuk apa aku meminta banyak-banyak kala kehadiranmu saja sudah sangat cukup berarti?
Iya. Aku makhluk yang penuh rasa syukur. Aku tidak akan egois perihal tentangmu. Aku menyadari bahwa, lebih dariku, banyak puan yang akan memiliki banyak puing-puing kasih sayang dariku. Aku juga tidak akan melarang mereka memberikannya. Karena, kamu berhak mendapatkannya. Figurmu memang pantas untuk dicinta sebanyak itu.
"Heh, Ta!"
Aku tergelak. Buru-buru mengemas buku tulis di mejaku dan mendekapnya. "Maaf maaf. Aku lupa sudah bel."
"Kamu doang, Ta, siswa sekolah yang lupa sama bel di saat yang lain paling hafal suara itu di sekolah."
Aku meringis kecil, tertawa kecil setelahnya. "Ya, maaf, deh. Kamu jadi nyamperin ke kelasku."
"Sebenarnya, nggak papa, sih. Aku juga baru beres piket di kelasku. Yaudah, ayo sekarang pulang. Mau sore, nih."
Aku mengangguk, segera menutup pintu kelas usai mematikan lampu. Ah, jangan tanya kenapa aku bisa se-tidak sadar ini kalau tinggal aku sendirian di dalam kelas. Kupikir yang lain tengah berlarian keluaran karena jam terakhir kosong, nyatanya, mereka sekalian berhamburan pulang.
"Eh, bentar, Ta. Kunci motorku ketinggalan di kolong. Ke kelasku dulu, yuk."
"Hn?"
Ira— namanya Ira. Ia langsung menarik lenganku untuk berbalik ke kelasnya. Kelas kami sebelahan, berada di jurusan yang sama. "Benar ketinggalan? Bukan hilang?"
"Duh, kamu jangan nakut-nakutin dong, Ta. Kayaknya sih ketinggalan, aku ingat kok tadi aku taro dikolong meja."
Begitu sampai di depan kelasnya. Ira langsung melepas lenganku dan berlari menuju mejanya diujung. Beberapa temannya masih membersihkan kelas. Pada akhirnya aku jadi mematung di depan pintu, menunggu Ira yang sepertinya kalang kabut kunci motornya tidak ia temukan dikolong seperti yang ia yakini. Sekarang, ia memeriksa kolong yang lain sambil berteriak, "Woi kunci gue! kunci gue!" seakan kunci itu memiliki telinga tuk mendengar dan muncul begitu saja. Aku tidak berniat membantu. Kejadian ini sudah sering sejak kelas sepuluh. Paling-paling, ternyata ada dikolong mejanya, namun ia tak melihatnya. Gitu aja terus.
"Misi."
Aku tergelak mundur dengan kepala menoleh. Mataku membulat.
Mendadak kelu dan bodoh.
"Misi."
"A—aiya." Aku bergeser keluar kelas, berdiri di luar pintu.
Membuat dia masuk ke dalam kelas, menaruh sapu yang ia bawa ke balik pintu. Aku bisa dengar suara dari dalam.
"Sampahnya udah sekalian dibuang?" Aku lihat salah satu teman kelas Ira bertanya padanya. Namun, tidak dijawab.
"Woi."
Kuharap ia tidak akan menyebut namanya. Jangan sampai. Nanti kalian akan mengejekku habis-habisan karena ketahuan siapa namanya.
"Udah."
…. dia berbicara.
"Kunci gue ketemu!"
Aku berkedip. Melirik Ira yang berlari kearahku dengan senang. "Ayo, pulang, Ta!"
Meski pandanganku penuh pada wajah Ira yang kesenangan, tak bisa aku pungkiri, bahwa desiran dari matanya yang melurus padaku, terasa nyata bahkan jika sekarang jarak kami terpaut lima meter—sekiranya.
— 21-11-2022.
Komentar
Posting Komentar