Langsung ke konten utama

pikiran berisik binar.

 Pikiranku berisik, Pram. Persis seperti Alun-alun Semarang yang kamu bilang keramaiannya seperti langkah sepatu kita ketika membolos pertama kali. Berlarian seperti pencuri roti tawar di kedai kue tanpa tahu arah bak kurir tersesat karena kita sama-sama tak memikirkan bagaimana nantinya akan terjebak dalam gudang amarah penjaga sekolah. Saat itu pikiran kita melayang jauh tanpa kenal cemas dan takut. Kita hanya mengenal bahwa aku ada dan kamu ada, sudah bagian dari jalan layang atensi kita. Kini disekitarnya hanya trotoar kecil yang tak sebanding dengan wajahmu, persis seperti lampu-lampu kotanya, kereta-kereta delmannya, atau gedung-gedung kota tua yang tak kalah menawannya. 


Aku tak mengenal takut lagi, Pram. Karena aku tau, saat itu kamu ada. Maka untuk apa aku memeluk selimut kala hujan deras jika aku punya dekapan hangat di setiap rintiknya?


Karena dulu aku punya teh hangat manis yang bisa kuminum kapan saja tanpa khawatir akan mendingin atau tidak, sebab ia ada pada bulan sabit diwajahmu. Aku selalu punya alasan untuk tidak takut, sebab aku tahu aku memiliki hal-hal yang membuatku berani lagi. 


Tapi, sekarang aku takut lagi, Pram. Pikiranku seperti gudang rongsokan. Desak, penuh, berantakan. Sampai waktu-waktunya tak memuat banyak hal untuk aku simpan di pikiranku. Karena sudah penuh kamu di sana. Hal-hal yang memenuhi pikiranku seperti sampah bekas yang seharusnya aku daur ulang—namun kupilih tetap tersimpan di sana tak peduli bahkan jika tidak akan pernah terpakai lagi. Sedang apa? sudah makan belum? tutup odolnya sudah ditutup belum? botol minumnya sudah penuh belum? rambutnya sudah disisir belum? sepatu yang semalam terkena hujan sudah kering belum? 


Waktu memberiku banyak pertanyaannya cuma-cuma, Pram. Yang aku tidak tahu bagaimana mendapatkan balasannya, sebab waktu belum berbaik hati meminjami bahagia untuk kita lagi. Karena sekarang, aku tidak bisa menggapai kasih dan sayangmu seperti yang mudah-mudah lalunya.


Kamu sekarang congkak, Pram. Dulu semudah itu aku memayungi senyummu. Sekarang langitnya sudah seperti awan hitam berkabut, yang kudapat hanya deras hujan yang aromanya menjadi petrikor dihalaman rumahku. Dulu semudah itu aku mengambil atensimu dari buku Kimia yang kukira benar-benar akan kamu pacari. Dulu semudah itu aku menyelinap dalam telingamu membawa Sheila On7 yang aku tahu kamu tidak pernah suka musik. Dulu semudah itu aku meraih jarimu, membawanya pada ayunan tanganku setiap pulang sekolah. Dulu semudah itu aku menelisik matamu, mencuri kelap-kelip binar yang ada di matamu. Dulu semudah itu aku menyimpanmu dalam doa-doa yang kubawa pergi turut dalam kunang-kunang yang berterbangan diluar jendela. Dulu semudah itu aku menyimpan tawa hangatmu dalam lampu tidurku agar kelak indah mimpiku. Dulu semudah itu aku membuatmu jatuh cinta padaku, Pram.


Tapi sekarang, Tuhan memberi tahuku bahwa akulah yang congkak. Aku begitu yakin bahwa si bodoh Binar ini bisa mengalahkan matahari, awan, hujan, bulan, langit, gedung kota, taman, samudra, laut, pantai, hutan serta lain-lainnya perut bumi. Nyatanya, si bodoh Binar ini juga tidak bisa mempertahankan kemenangannya itu. Prama-nya tetap pergi, meninggalkan semesta khayalan Binar sendirian di desakan relung jiwa patahnya.








— 30-11-2022.



Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

things i could never say to you -noni

Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini. Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih. Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik. Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, s...

Jarum Jam dan Pukul 12—soon.

"Kamu akan tetap menjadi yang terbaik untukku, Pram. Patah hati yang terbaik." Ketika kita tahu bahwa tokoh utama sejati hanyalah di hidup sendiri.  Aku jadi paham, mengapa manusia suka sekali mementingkan diri sendiri.  o0o "Prama memang membuatku bahagia, Rin. Tapi, Bian. Bian melengkapi kebahagian yang sebelumnya sudah aku punya." Dan aku sadar, perasaan yang ku punya ini akan menjadi keegoisan paling besar. o0o Patah hati yang menggerogoti hati membuatnya menutup pintu masuk hadirnya perasaan. Meski, sulit melupakan Prama, ia tak akan lengah untuk dipatahkan kembali. Lagi pula, hadirnya Bian membuat dirinya melupakan luka terbaiknya itu. Tapi satu fakta ia lupakan, bahwa  ia memang pemilik hatinya. Tapi, ia, bukan pengendalinya. "Kak Bian?" "Ya?" "Kalau aku jatuh cinta, bagaimana?" "Aku tidak bisa membantumu, itu, kan, perasaanmu." "Meski orang itu adalah Kak Bian?" Jarum Jam & Pukul 12 by Jua Zahra

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 2

 Binar harus dipaksa utuh ketika separuh dunianya menarik paksa untuk terlepas. Ia harus menerima kekalahan pada rasa sakit yang ada. Kalah dari taruhnya membungkam segala-galanya. Pram, aku menyanyangimu lebih dari rasa sayangku pada waktu yang berjalan dan menghimpit dunia kita untuk dipaksa saling bersisian. Kalau rumah yang kamu maksud adalah tempat berteduh, bagiku kamu adalah tanah kepulanganku. Dinding cat krem di setiap incinya adalah sebagian rasa nyamanku ‘tuk beristirahat usai dipaksa kuat walau isinya hanya kepura-puraan. Maka, kamu harus tahu bahwa kesinggahan itu adalah hal terbaik sepanjang masanya. Ruang tamunya, kamar tidurnya, gudang berdebunya, selalu jadi kegemaranku untuk duduk dan tertidur tanpa ingin bangun lagi. Pergilah, Pram. Kemanapun dibawanya rumah itu, kamu tetap menjadi yang terbaik untukku. Kamu ‘kan menjadi patah hati terbaikku, Pram. O0o “Prama hari nggak masuk.” Ada yang selalu bisa menarik atensi perempuan bermata bundar itu. Pertama, seekor anak...