Langsung ke konten utama

Pagi, Praja dan Na.

 






Belum melihat jam tapi aku sudah tau kalau kicauan burung gereja dijendela menyampaikan pesan bahwa hari ini: aku harus dijemur lagi bersama Pak Beni. Ini gara-gara semalam Praja mengajakku bernyanyi hingga lupa alarm pagiku kosong hingga seminggu kedepan. Aku akan berlutut mengusap kaki ibu menghantur maaf bahwa pesan panjang ini-itunya sebelum mengangkat kaki dari rumah tak bisa terlaksana padahal belum ada satu hari ia bicara. Tapi setidaknya, nakalnya anak gadismu ini masih bersama anak laki-laki konyol berambut singa seperti dalam poster Narnia.


"Na, bolos saja, yuk?" 


"Ayolah, Ja, kamu bisa mengajakku sebelum kita sampai di sekolah. Jangan terlalu banyak menunjukkan kebodohanmu di depan Pak Beni sekarang!" Aku tau itu basa-basinya karena cuaca pagi ini sepanas kicauan Pak Beni dan telingaku dan kakiku dan seluruh tubuhku di samping tiang pusaka ini.


Aku tau ini akan menjadi situasi yang panjang dan menyebalkan. Begitu juga pikir Praja yang sekarang bergumam banyak seperti membicarakan mengapa bunga sepatu tidak berbentuk sepatu, mengapa orang-orang memanggilnya singa, bukan Bisma atau Angga Yunanda, dan mengapa-mengapa lain yang harus kujawab sebisa mungkin. Kalau tidak ia akan menagihnya mungkin kalau bisa sampai di batu nisanku jika aku belum mengeluarkan jawaban apapun. 


Ya, itu Praja. Praja Khasmalik. Selalu menginginkan jawaban. Selalu butuh kejelasan. Dan, satu-satunya orang nggak jelas dalam hidupku. Hahaha, iya, dia kocak. Rambutnya gondrong sejak SMP. Mungkin memiliki mantra hebat hingga hampir setahun lepas dari incaran guru BK dengan senjata pengguntingnya. Selalu menyamakan dirinya dengan Bisma SM*SH karena rambutnya. Sayang sekali dimataku justru terlihat seperti singa hutan. 


"Na, kabari aku kalau Pak Beni datang." Kan, kan. Entah apa lagi yang ia cari selain masalah. "Na, kabari aku, Naaa," katanya memohon. 


"Iya iya. Asal cepat datang lagi."


"Sip, mantap. Nggak sia-sia Ibu memilih rumahmu sebagai tetangganya dulu."


Begitu kesehariannya. Tidak ada kegiatan lain selain sarapan lontong sayur Bu Ami kantin di pukul setengah delapan. Heran, aku. Padahal nasi goreng buatan Ibunya itu digandrungi banyak orang. Kok bisa anaknya memilih makan lontong sayur. Ah, ya terlepas dari makanan favorit Praja. Laki-laki itu jelas juga ingin membolos sebentar.


Sudah ku kenalkan Praja, ya, tadi? Sejauh apa ya aku cerita? Ah, intinya, Praja masuk ke lingkaran kehidupanku. Ibaratnya kalau dia keluar, lingkarannya tidak sempurna lagi.



***




Ada yang lebih baik dari jam kosong di hari senin. Yap, Praja hadir mengisi semua absen di hari senin. Sebenarnya, si 'singa' itu nggak senakal itu. Dia hanya…nakal. Ya, tapi nggak senakal itu. Praja masih dikenal guru guru dengan baik. Misalnya, guru biologi karena hanya dia yang melakukan laporan pengamatan dengan baik. Ya, itu juga nggak jauh jauh dari Kakaknya yang bebas ia bayar sebab beliau mahasiswi Kehutanan. Atau, guru olahraga. Karena cuman dia yang semangat melakukan praketk roll depan, roll belakang, sikap lilin di saat yang lain keluar ke lapangan saja ogah-ogahan. 


Cuman dia juga yang mau dititipin kopi kapal api untuk guru-guru yang nongkrong di ruang guru. Cuman dia juga yang mau disuruh membersihkan gudang olahraga. Cuman dia juga yang mau aja disuruh pasang banner besar untuk event sekolah padahal, bukan bagian dari panitia. Dia bisa jadi apa aja dan jadi siapa aja. 


"Na, bagi minum dong." 


Praja duduk di mejaku sambil melepas dua kancing seragam atasnya yang menampilkan kaus hitam polos. Tubuhnya berkeringat, ini pasti karena bermain basket setengah jam penuh waktu istirahat.


"Jauh-jauh dariku. Kamu bau banget," kataku mengibaskan tangan, lalu menunjuk keluar kelas usai memberikan botol minumku. 


Namun, laki-laki itu menulikan telinganya, tetap duduk dimejaku sambil meneguk air dari botol minumku. "Bukannya tadi pagi kamu bawa air minum?"


"Sudah habis. Aku mau beli, tapi lupa dompetku kutitipkan ke kamu."


Praja merogoh saku bajunya, mengeluarkan dua permen karet dan memberikannya satu padaku. "Na, coba tebak, mengapa permen karet rasanya selalu pahit di akhirnya?"


"Apa?"


"Karena manisnya sudah ada di awal."


Aku mendecih. "Hn, persis seperti omonganmu."


Praja membelalakkan matanya. "Apa? Memang pernah? Omonganku ini manis terus, tau."


"Iya. Sampe diabetes akut aku rasanya."


Praja tertawa lepas. Lalu turun dari meja dan duduk di kursi sebelahku. "Na, besok malam ke angkringan di daerah Bogor, yuk? Sebelum itu, kita ke pameran budaya, aku punya dua tiket khusus. Dari pameran ke angkringannnya, aku bawa kamu keliling sampai ketemu Warung-nya Pak Jo. Mau?"


Aku melirik. "Kenapa, sih, Ja? Baru kemarin malam kamu bawa aku pergi."


Praja tersenyum. "Nggak tau. Rasanya mau bawa kamu kemana-mana terus, Na."


"Ajak temenmu yang lain sajalah. Aku harus mengejarkan banyak PR."


"Yah, Na, yang kayak kamu, aku cuman punya satu. Ya kamu aja."






Komentar

Postingan populer dari blog ini

things i could never say to you -noni

Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini. Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih. Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik. Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, s...

Jarum Jam dan Pukul 12—soon.

"Kamu akan tetap menjadi yang terbaik untukku, Pram. Patah hati yang terbaik." Ketika kita tahu bahwa tokoh utama sejati hanyalah di hidup sendiri.  Aku jadi paham, mengapa manusia suka sekali mementingkan diri sendiri.  o0o "Prama memang membuatku bahagia, Rin. Tapi, Bian. Bian melengkapi kebahagian yang sebelumnya sudah aku punya." Dan aku sadar, perasaan yang ku punya ini akan menjadi keegoisan paling besar. o0o Patah hati yang menggerogoti hati membuatnya menutup pintu masuk hadirnya perasaan. Meski, sulit melupakan Prama, ia tak akan lengah untuk dipatahkan kembali. Lagi pula, hadirnya Bian membuat dirinya melupakan luka terbaiknya itu. Tapi satu fakta ia lupakan, bahwa  ia memang pemilik hatinya. Tapi, ia, bukan pengendalinya. "Kak Bian?" "Ya?" "Kalau aku jatuh cinta, bagaimana?" "Aku tidak bisa membantumu, itu, kan, perasaanmu." "Meski orang itu adalah Kak Bian?" Jarum Jam & Pukul 12 by Jua Zahra

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 2

 Binar harus dipaksa utuh ketika separuh dunianya menarik paksa untuk terlepas. Ia harus menerima kekalahan pada rasa sakit yang ada. Kalah dari taruhnya membungkam segala-galanya. Pram, aku menyanyangimu lebih dari rasa sayangku pada waktu yang berjalan dan menghimpit dunia kita untuk dipaksa saling bersisian. Kalau rumah yang kamu maksud adalah tempat berteduh, bagiku kamu adalah tanah kepulanganku. Dinding cat krem di setiap incinya adalah sebagian rasa nyamanku ‘tuk beristirahat usai dipaksa kuat walau isinya hanya kepura-puraan. Maka, kamu harus tahu bahwa kesinggahan itu adalah hal terbaik sepanjang masanya. Ruang tamunya, kamar tidurnya, gudang berdebunya, selalu jadi kegemaranku untuk duduk dan tertidur tanpa ingin bangun lagi. Pergilah, Pram. Kemanapun dibawanya rumah itu, kamu tetap menjadi yang terbaik untukku. Kamu ‘kan menjadi patah hati terbaikku, Pram. O0o “Prama hari nggak masuk.” Ada yang selalu bisa menarik atensi perempuan bermata bundar itu. Pertama, seekor anak...