Praja itu banyak bicara. Aku juga banyak bicara. Namun, ia lebih banyak. Praja tidak akan pernah membiarkan sedikitpun bibirku terkunci, ia mencuri gemboknya dan menyuruhku untuk menjadi jawab atas tanda tanya besarnya pada seisi perut bumi. Seolah aku adalah kamus yang ia kantongi di sakunya dan memanggilku kapan saja seperti jin botol ketika dunia lagi-lagi memberi teka-teki persis pada koran miliknya dibawah meja ruang tamu. Kadang Praja memujiku, seharusnya Ibumu melahirkan kamu lebih cepat, Na. Tumbuhlah di masa orde baru. Jual mulutmu dengan harga yang sangat mahal. Tapi, kadang dia juga bilang, terlalu banyak informasi yang kamu dengar, Na. Nanti kamu serakah.
Belum bulan Desember. Tapi Ibu sudah kebingungan harus menjemur baju kemeja biru kesukaan Ayah dimana lagi. Belum juga liburan semester. Tapi Praja sudah mengekoriku sejak kemarin meski aku hanya berdiam diri di rumahku. Praja memeluk kasurku pagi-pagi, kadang mencuri mangkok putih yang seharusnya kabur ke lorong jauh di perutku sana, tapi salah pintu menuju puncak gunung kenikmatan perut Praja. Kadang juga, ia menggunakan pasta gigiku sampai habis hingga membuka mulutnya terus menerus di depanku sampai waktu televisi menayangkan iklan rokok seratus kali.
Belum juga aku menghabiskan sabun batang berharumkan ceri di lemari kamar Ibu. Tapi Praja sudah siap dengan surat yang membawaku pulang pada rumah paling asing yang aku tahu dia tidak akan pernah membayar tagihan listrik dan airnya, juga tidak pernah menyirami tanaman hias di samping rumahnya lagi.
Teruntuk sayang tersayang dan yang menyanyangi,
Hana Berliana Sadjiwarandaya,
Yang aku tidak tahu sudah makan atau belum. Tapi aku tahu mangkuk putihnya masih utuh karena tidak ada pintu lorong lagi yang salah untuk ia masuki. Aku juga tidak tahu kamu sudah mandi atau belum. Karena surat ini sampai pukul empat pagi dan kamu paling suka membaca surat, mungkin nanti kamu akan terlambat menggosok gigi. Tapi tidak apa-apa. Karena pasta gigimu tidak akan lagi habis lebih cepat. Han, aku pernah bilang kan, sama kamu kalau dunia ini luas sekali. Bukan selebar daun kelor atau sependek tubuhmu itu. Aku juga pernah bilang kan, kalau isi-isinya itu banyak sekali? Mungkin aku bisa melihat jangkrik berwarna hijau di halaman rumah kita. Tapi mungkin aku bisa lihat jangkrik berwarna biru di halaman rumah lain.
Na, nanti kita akan melihat ikan-ikan teri berenang diatas awan terbawa arus angin mengikuti ibu mereka yang berenang dengan sayap paling cepat karena dibelakang sana ada burung gagak yang turut terbang. Sementara itu, burung gereja yang tidak lagi bisa hinggap di kabel listrik, akan berenang dilaut biru bersama lumba-lumba. Nanti kita juga bisa melihat paus biru memiliki sayap selebar tubuh ikan pari dan berdansa dengan anjing laut. Mereka akan menyanyikan lagu kesukaanmu sampai kamu tertidur. Nanti aku akan mengajakmu membeli pelangi di kota-kota hujan. Aku juga akan mengajakmu menaiki perahu kertas di sungai penuh ikan piranha, kalau kamu mau, aku bisa menyuruh mereka diam mengigit karena di sampingku ada Hana yang jauh lebih galak. Kalau tengah malam tiba, kita bisa berkeliling menaiki delman kurcaci. Kamu tidak perlu berlarian kehilangan sepatu kaca seperti Cinderella karena aku sudah menjadi pangerannya. Nanti kita lihat kaca-kaca itu berdiri berpantulan pada lampu-lampu lentera tengah menyantuni jiwa-jiwa yang tertidur.
Na, aku tidak bisa membawamu turut mengunjungi tempat-tempat itu. Tapi aku berjanji akan membawanya pulang nanti ke rumahmu. Biar nanti rumahmu ramai. Lebih ramai dari warung makan Pak Tejo. Lebih terang dari rumah-rumah desa di malam lebaran. Lebih berisik dari pasar malam. Dan lebih hangat dari pelukan Ibu di ruang persalinan.
Nanti aku pulang, Na. Aku pasti pulang. Aku akan selalu menggenggam namamu sebagai alamatku. Aku pasti pulang membawa banyak anak-anak tanah kota. Aku pasti selalu ingat bagaimana harum pijak kepulanganku berada. Nanti kalau bel rumahmu berbunyi satu kali, itu bukan aku. Itu pasti kurir paket buku barumu. Tapi kalau berbunyi dua kali, itu bukan aku juga. Itu pasti tetanggamu yang marah-marah karena kamu memakai speaker lagi untuk menyetel lagu Dian Pramana Poetra. Tapi kalau berbunyi tiga kali, itu bukan aku lagi, Na. Itu pasti Ayahmu yang terkunci di luar pukul satu dini hari karena permainan caturnya kalah dengan Pak RT. Kalau tidak ada bunyi belnya, itu aku, Na. Aku akan melewati jendela kamarmu, aku akan melihat apakah PR mu sudah selesai belum. Maka kamu tidak memiliki waktu untuk menyembunyikannya dariku nanti. Jadi tolong belajar yang rajin. Tolong menuruti perkataan Ibumu untuk makan sayur lebih banyak. Tolong diingat bahwa sehabis makan jangan lupa cuci piringnya, jangan memakai sabun pencuci piring dengan banyak, jangan dimainkan busanya. Tolong diingat sepatunya disimpan dibelakang kulkas lepas hujan tiba agar Ibu tidak marah lagi harus meminjam sepatu tetangga yang mana lagi. Tolong jangan dilipat payungnya sehabis hujan tiba, jemur saja dulu sampai kering di samping mobil Ayahmu. Tolong juga kupluk jas hujannya di kenakan atau kamu bisa pusing lebih dari mengerjakan seratus soal kimia.
Na, sekarang aku harus meminjam tangan siapa kalau aku pegal menulis? Aku lebih suka memakai mulutku dibanding tanganku sekarang. Tapi aku harus menggunakan tanganku sekarang.
Nanti kalau kamu sudah selesai baca suratnya, berjanji untuk makan dan mandi. Setelah itu pergi ke sekolah. Turuti Ayahmu untuk pergi bersama. Turuti Ibu untuk membawa bekal lebih banyak. Nanti kalau sudah sampai, jangan ambil bangku depan, tapi bangku ketiga saja. Karena katanya, Bu Suar tidak masuk hari ini dan penggantinya Pak Agung yang paling kamu takuti. Nanti kalau sudah bosan dengan suara Pak Agung yang menceritakan anak-anaknya, periksa kolong bangkumu. Kata Dalman, yang rasa coklat habis. Jadi, dia beli yang vanila. Kalau kamu tetap bosan, izin ke toilet saja, belok ke perpustakaan. Dilorong ketiga rak buku sejarah, flashdisk-nya di rak paling atas, nanti kamu ambil dengan bangku yang sudah ada di depan raknya. Nanti pakai komputer paling ujung. Tonton saja sampai dua puluh menit. Penjaga perpustakaan hari ini cuti. Penggantinya Pak Lasto yang tidur sepuluh menit sebelum kamu masuk perpustakaan. Kamu bisa pakai earphone yang aku taruh di dalam buku Chairil Anwar kesukaanku pada halaman terakhir. Nanti kalau jam istirahat, langsung saja ke bakso milik Pak Adi, aku sudah pesan dari jauh-jauh hari buat kamu. Tanpa tauge dan mie kuning. Nanti kalau kamu kepedesan, bilang ke aku, ya. Nanti aku marahi Pak Adi. Kalau sudah selesai makan, jangan lupa kembali ke kelas. Jangan lupa juga untuk mengumpulkan lembar latihan soal matematika pada Riska. Jangan lupa juga janji kamu membeli peralatan olahraga dengan Tati. Jangan lupa juga kalau sudah pulang sekolah, mandi dan makan. Jangan larut sampai malam untuk nonton The East dan acara Vindes kesukaan kamu. Jangan lupa gosok gigi dan cuci kaki sebelum naik ke kasur. Kerjakan PR-nya di meja, bukan di kasur. Nanti bekas penghapusmu tertinggal di seprei. Atau bisa-bisa punggungmu pegal-pegal hingga lupa cara tertidur nyenyak. Nanti jangan lupa bermimpi yang baik-baik. Jangan lupa untuk menyediakan air minum sebotol di samping tempat tidur. Pasang alarm-mu dengan baik, Na.
Hana, maaf harus membuatmu banyak mengingat hal di saat kamu paling tidak suka menyimpan banyak-banyak hal di kepalamu karena takut nanti membekas terlalu lama.
Na, aku tidak tahu harus menulis apalagi. Aku harus melanjutkannya seperti apa lagi? Sekarang aku lebih ingin melihat wajah jelek yang membaca suratku sambil menangis. Lalu tertawa di depan wajah itu dan mengajakmu ke kedai eskrim terdekat meski ini jam empat pagi. Hahaha, iya, nanti kita justru disuruh membantunya menyiapkan kursi-kursi atau mengelap meja-meja, tapi tidak apa kalau dapat es krim cone dan cup gratis.
Na..
Sekarang aku beneran tidak tahu harus menulis apa lagi. Apa ada yang menyewa tangan panjang sekekarku? Apa ada yang menyewa tangan dengan tulisan rapi sepertiku? Yah, paling-paling kamu yang membuka persewaan itu. Itupun kalau kamu seorang pengangguran.
Na, ini yang terakhir. tolong jaga sehat dan bahagiamu, ya.
Maaf aku meminta banyak pertolongan, padahal kamu bukan damkar atau polisi.
Na, ini beneran yang terakhir.
Jangan menangis lagi, Na. Simpan saja untuk upacara kematianku. Menangislah sekali untukku, hanya ketika aku benar-benar memeluk kepulangan selain kamu.
— Praja.
Di tulis oleh,
Jua Zahra.
4-02-2022.
Komentar
Posting Komentar