“Ayo kita pilih bintangnya. Kamu mau yang mana?”
“Itu. Yang paling terang,” begitu ia menjawab tanpa ragu, telunjukknya tepat mengarah tanpa meleset pada setitik cahaya paling berkilau dari bola mata coklatnya.
“Kalau diberi nama, menurut kamu siapa namanya?” katanya bertanya tanpa menoleh.
“Binar.”
“Apa?”
“Binar namanya.”
Sekarang, ia menoleh.
“Aku mau Binar jadi bintang paling terangnya.”
“Dasar bego.”
“Aduh!”
Selimut itu ikut turun memeluk pemiliknya yang baru saja mencium karpet berbulu diatas keramik bercorak. Dielus kepalanya lembut yang baru saja menyapa kaki meja kayu, matanya berusaha membuka dengan nyawa yang ia kumpulkan sedemikian rupa, mengorek darimana asalnya alam bawah sadar ini datang tanpa dipanggil sebelum umpatan itu muncul bersamaan dengan tragedi mengenaskan barusan.
“Kali ini aku nggak mau nolongin kamu. Kamu bego.”
Perempuan yang masih memakai piyama micky mouse setara dengan seprei tidurnya berusaha berdiri sendiri, wajahnya kecut penuh kesal melihat kedatangan orang itu. “Kamu sama begonya, Rin.”
Rin—suku kata terakhir dari panggilan Ka’ri’na. Gadis pengangguran yang kerjaannya hanya sekolah tanpa mengerjakan PR ataupun menjawab kuis untuk berpindah dari angka 5 yang ada dirapot setiap mata pelajarannya, yang sekarang pagi-pagi buta berdiri di depan ranjang tidur temannya tanpa peduli jarum pendek itu mengarah pada selatan dan jarum panjangnya ada pada arah timur. Ini masih sangat pagi.
“Setidaknya, sebegonya aku, sebanyak apapun tinta merah yang Bu Tuti pakai di rapotku, aku nggak bego kayak kamu yang ku panggil, ‘Halo, Binar! Ayo bangun! Aku bawa sereal pagi yang kemarin kamu minta di telfon sambil nangis, yang katanya anggap hari ini biasa aja kayak hari sebelumnya’ lalu tok-tok, Binar? Halo? Oh Tuhan, ternyata dia bermimpi sambil menyebut nama laki-laki itu berulang kali. Aku sampai berpikir kamu lupa baca do’a sebelum tidur.”
“Rin…”
Karina membuang napas. Kakinya menekuk dan mendekat pada tubuh mungil yang kini menyandar pada meja kayu.
“Yaudah. Kata ahli, nangis pagi-pagi gak papa.”
“Siapa ahlinya?”
“Aku.”
“Sial.” Gadis itu memukul pundaknya kala Karina merengkuhnya. Kekehan memercik dari dadanya yang mulai sesak.
Benar kata Karina semalam. Dia tidak mungkin menjadikan hari ini seperti hari biasa saja seperti hari-hari sebelumnya.
Dia juga pasti lupa membaca do’a sebelum tidur karena terlalu lama mengumpat pada kolong tidur menumpahkan duka-duka citanya tanpa mengingat waktu. Dia benar-benar lupa segalanya semalam. Kecuali, yang itu.
Laki-laki itu.
O0o
Kepingan-kepingan itu di pungut kembali. Dia memaksa untuk mengingatnya lagi. Dia memaksa akan menerima dan menyimpannya lagi seburuk apapun antara dia, dia, dan mereka. Menelannya pahit-pahit tak peduli pencernaannya akan rusak atau tidak. Yang dia tahu, bahwa hal ini terlalu menyesakkan untuk dibuang begitu saja. Dia mau mengenangnya sesampah apapun bentuknya. Dia tengah membodohi dirinya sendiri kala itu.
Kepalanya berdesakkan penuh ingin mendapatkan tempatnya seperti semula. Kepingannya ingin menjadi papan puzzle seperti sedia kala. Namun, sayangnya dia tak mampu lagi menatanya kembali. Maka, jadilah. Macam gudang tanpa peduli siapa, ia hanya mau menyimpannya, tak peduli kembali tertata atau tidak. Setidaknya, ia berusaha agar kepingannya tetap ada.
“Bersedihlah. Agar bisa Ibu peluk.”
Hari ini raganya berusaha mengutuhkan kembali abu-abu dari runtuhan rumah yang kemarin terbakar habis.
“Hari ini aku dapat banyak pelukan, ya?”
“Peluk Ibu kapanpun. Sebanyak apapun kamu mau. Tubuh Ibu, tubuhmu juga,” katanya sembari memegang kulit yang membungkus jantung tuanya, lalu beralih mengusap kulit diatas jantungku.
Begitu caranya untuk membuatku tetap hidup.
O0o
Karina: Heh! Sekolah ya! Keberuntungan fisika hari ini ada ditanganmu.
Binar: Maunya nggak masuk.
Karina: Halo? Apa sekolah bakal ngadain libur nasional karena salah satu muridnya nggak masuk karena putus sama pacarnya? Atau kamu berharap Bapak Jokowi bakal bikin tanggal merah khusus warganya yang habis putus sama pacarnya?
Karina: Kalau itu semua terjadi, kamu boleh gak masuk hari ini.
Menyebalkan. Bocah peringkat terbawah yang songong, batinnya sambil mengeratkan pegangan pada tumpuan diatap busway. Alisnya daritadi mengerut, belum lagi matanya yang memerah dan sembab. Mungkin di setiap penjuru busway pagi itu dapat merasakan hawa gelap disekitar mereka karena murid berseragam SMA ini yang sekarang lebih nampak seperti zombie pada serial All Of Us Are Dead yang Karina tonton tepat setelah UAS mereka di liburan semester satu.
Hawanya sejuk. Oke, yang ini sungguhan. Semalam nampaknya hujan deras. Yang ini juga sungguhan. Bukan dari kelopak Binar saja rupanya, namun Tuhan andil juga memberi teman untuknya. Meski polusi Kota yang Binar tak mau membahasnya, aroma petrikor kala melewati Taman Kota yang sebagian besar memiliki tanah luas, menembus paru-paru Binar dalam-dalam, menyerbak di tubuhnya. Ambunya benar-benar membuat Binar seperti menghirup kebebasan. Paru-parunya mendadak kosong. Meski tak memungkiri jejak sesak didalamnya.
Dan….perlahan kaupun…
Lupakan aku… mimpi burukmu…
Dimana t’lah kutancapkan duri tajam…
Kaupun menangis..
Menangis sedih.. Maafkan aku..
Binar menunduk.
Sebelum akhirnya lelaki tua disampingnya dengan tas POLO yang dipangku mendengarkan lagu dari Band kesukaannya dengan volume yang agak keras.
Rasanya seperti malaikat pencabut nyawa mengambil nyawamu tepat ketika bangun tidur.
O0o
“ Lupakanlah saja diriku!
Bila itu bisa membuatmu
Kembali bersinar dan berpijar
Seperti dulu kala!”
“SMANSA MANA SUARANYA?!”
Pemuda itu menaruh tempat agak menjauh, suasananya semakin ramai kala band itu naik ke atas panggung menambah keramaian setelah hujan datang. Kedua tangannya menumpu dikedua sisi tubuhnya, pandangan matanya melurus pada panggung tanpa ikut mengalunkan lagunya.
Tentu ia sadar atmosfer lain datang. Pengembuskan karbon dioksida selain dari hidungnya dapat ia rasakan tepat disamping kirinya. Sama sekali tak berminat untuk menoleh, ia hanya berharap orang disampingnya tak akan melakukan apapun.
Atau berbicara.
Tapi terlambat, yang barusan tidak dikabulkan Tuhan rupanya.
“Aku suka Sheila On7.”
Dia diam saja.
“Aku bilang, aku suka Sheila On7.”
Kali ini dia menoleh. “Siapa?”
“Aku.”
“Siapa yang peduli?”
“Mau dengar atau tidak, tapi aku akan tetap mengatakannya bahwa yang paling aku suka, Dan, Anugrah Terindah Yang Pernah Kumiliki, Kita, Tertatih, J.A.P, Bila Kau Tak Disampingku, Hari Bersamanya, Seberapa Pantas, Itu Aku, Pemuja Rahasia, hmm… sebentar, ada lagu yang sekarang aku dengerin terus-terusan.”
“JAP, alias Jadikan Aku Pacarmu. Lucu, kan?”
“Kamu harus dengerin J.A.P, Pram. Biar kamu tahu,” katanya seakan menjeda.
Lalu menoleh dan memandangnya dari samping tanpa celah barang sedikitpun, bibirnya melengkung tipis.
“Kalau Sheila On7, semudah itu menyampaikan perasaanku.”
Dia membuang napas, melirik. “Kalau gue dengerin, lo bisa diam?”
Yang dilirik mengangguk. “Asal kamu mengiyakan judul lagunya.”
“Bilanara.”
“Iya?”
“Itu gak akan pernah.”
O0o
Keadaan busway semakin sempit. Binar harus memojokkan dirinya—yang sudah terpojok tentu ini saja. Beruntungnya ia berdiri tak jauh dari pintu untuk memudahkannya keluar ketika sampai di sekolah.
Nampaknya pagi itu keberuntungan juga bagi seluruh insan-insan dunia yang sukarela berangkat pagi-pagi dan berhimpit-himpitan seperti ini dibanding memikirkan ketiaknya yang akan basah atau kemejanya yang akan bau karena Binar yakin salah satu dari penumpang membawa bekal semur jengkol yang menyengat, atau juga dibanding memikirkan suasana hati mereka yang bisa saja berantakan usai turun dan berkutat pada tumpukan berkas-berkas masalah di hari senin. Karena penumpang yang baru saja dijemput ini seorang pedagang toko florist yang sedang membawa banyak bunga-bunga pesanannya. Semerbak parfum gratis bertebaran di penjuru bus. Alangkah adilnya Tuhan menyatukan si semur jengkol dengan harum mawar putih disampingnya.
Sebentar, apa?
O0o
“Lihat, sudah aku bilang, putih lebih cocok untuk edisi menjenguk. Mawar merah itu lambang kebahagiaan. Kamu mau datang sebagai lambang kebahagiaan karena Tamrin kecelakaan motor?”
“Dia cuman hampir nabrak kucing, Nar. Terus terkilir.”
“Ya, sama aja, Pram! Namanya kecelakaan motor!”
“Terserah.”
Gadis bersurai panjang itu memasuki area toko, melihat jejeran bunga warna-warni yang disusun sedemikian cantik dan eloknya. Menarik banyak kupu-kupu datang untuk menghisap sarinya. Wajah gadis itu tidak bisa dapat Prama lihat bagaimana ukur senangnya. Yang Prama tahu, dia sangat senang. Mungkin, sangat-sangat senang.
“Ini florist terbaik sepanjang masa kayak kasih sayang Ibu! Ayahku dulu kalau setiap hari jumat dan senin, selalu naruh surat dan bunga yang beliau beli di sini ke kolong meja Ibu. Lucu, kan? Bunganya cantik-cantik kan, Pram?”
“Hn.” Begitu saja responnya. Terlihat tak berminat pada cerita yang Binar jabarkan, padahal dibenaknya sempat bertanya, bunga jenis apa yang Ayah Binar pakai untuk memikat Ibunya?
Tapi, entah darimana, mungkin dari tempat-tempat yang belum Prama ketahui asalnya namun dapat Prama rasakan keberadaannya, bibirnya terbuka cukup untuk meloloskan degup jantungnya sendiri.
“Sampai gue gak bisa bedain lo.”
“Hn? Kenapa, Pram?”
Lucu sekali.
“Sepuluh menit, lebih dari itu, jalan sendiri ke rumah sakit.”
“Pram?! Kesabaranmu memang tipis atau memang gak berlaku untukku, sih?!”
O0o
Seperti yang tak berkesudahan. Kepala Binar kini lebih berantakan dari sebelumnnya. Ini baru beberapa jam usai terjadi, mungkin besok, Binar sudah mati di kolong kasurnya sambil memeluk dirinya sendiri.
O0o
JUAAA, KEREENN 🤍🤍
BalasHapus