“Halo? San? Sudah telfon?”
“..."
“Kamu itu gimana sih, San. Habis ini kamu nggak ketemu dia lagi. Sekali aja lah, habis itu kamu nggak akan ketemu dia lagi, jadi kamu nggak perlu khawatir. Hidup kamu habis ini nggak ada dianya, santai saja.”
“Aku ragu, menurutmu sekarang waktu yang tepat?”
“Tepat nggaknya, kita gak pernah tahu kalau nggak dicoba, San. Kalau memang dia orangnya, semua waktu akan tepat. Percaya sama aku.”
“Ya sudah. Tolong ke Apartment aku sekarang, bajuku tinggal masuk koper.”
“Ih, sebentar! Kamu jadi telfon dia nggak?”
“Ke apartmentku saja dulu. Nanti aku pikir-pikir lagi.”
“Ya ampun! Masih saja dipikir-pikir. Dari lima tahun lalu juga kamu selalu mikir dan nggak akan pernah terjadi.”
Aku mematikan sambungan. Berbicara hal ini nggak akan pernah selesai. Karena tindakan itu tidak pernah ada. Aku selalu mengulur, tapi pembahasan itu terus berlanjut, begitu dengan perasaanku sendiri.
Rasmi bilang aku harus mengaku, tapi buatku tidak akan pernah ada bedanya. Rasmi bilang aku harus mengaku agar dia tahu dan berpikir tentang perasaanku selama ini, tapi buatku perasaanku sendiri itu bukan urusannya.
Bunyi nontifikasi masuk. Deringnya berbeda dari dering nontifikasi lain.
Wan: Rasmi bilang lo mau ngomong sesuatu? Ngomong apa, San?
Punya teman tolol. Aku mau marah jadinya.
Saniang: Besok nggak perlu ikut ke bandara, Kak. Berangkat tengah malem soalnya.
Wan: Oh, nggak jadi berangkat pagi? Nunggu lama berarti?
Saniang: Iya, jadi dari malem. Tidur di bandara.
Wan: Oh, oke deh, San.
Nggak. Setelah punya teman tolol, aku nggak akan jadi tolol untuk ngomongin hal-hal gak penting seperti perasaanku sekarang. Lima tahun mencintai orang yang sama? Wan bakal ketawain aku.
-
Aku bohong soal berangkat malam. Aku tetap berangkat pagi. Sebelum matahari terbit aku sudah di Bandara dengan tidur yang cukup. Ponselku mati. Peduli amat Rasmi jadi mengantarku tidak, nanti juga dia datang.
Aku mengeratkan jaket tebal abu yang membungkus tubuhku, menarik koper memasuki bandara. Pukul enam pagi. Aku masih tidak berniat membuka ponselku. Sebelum selesai menghabiskan roti hangat manis khas Roti’O, Rasmi datang.
Bersama Wan dibelakangnya.
Wajah Rasmi marah. Terlihat dari rambutnya merah menyala dan wajahnya masam. Meski pasti datang sambil marah-marah dan memojokkanku yang membuatnya harus buru-buru datang, aku masih bisa melihat eyeliner-nya yang imbang itu.
Wan berdiri di belakang. Memakai sweeter abu-abu, senada dengan jaketku. Sweeter yang aku berikan di hari ulang tahunnya hari ini, yang aku berikan dua hari lalu.
“Bohong ya.”
“Selamat ulang tahun, Kak.”
Aku tersenyum. Eratan pada koper bertambah.
“Makasih kadonya, San.”
Aku tersenyum lagi. Mungkin kalau aku bisa, kado buatnya nggak cuman sweeter yang aku beli, tapi juga perasaan yang aku jaga paling lama dari pada masa pacarannya sama mantan tersayangnya itu.
“Mei nanti gue nggak bisa ngasih kado tepat waktu. Ulang tahun gue hari ini juga lo ngasih kado lebih cepat. Boleh gue kasih kado gue lebih cepat juga?”
“Masih tiga bulan lagi, Kak. Mending pakai jasa kurir sampai Berlin.”
“Sayang ongkos kirim surat aja cuman pakai kurir, San. Hahahaha.”
“Surat apa?”
Kertasnya buluk. Jujur. Menguning, aku nggak tahu dia simpan dimana. Tapi, tidak jauh berbeda dengan hal sama yang akan aku berikan. Yang sebelumnya.. akan kubuang ke tong sampah di bandara.
“Aku juga nulis surat. Buat Rasmi juga.” Bohong lagi. Aku banyak berbohong untuk urusan dengan Wan. Dengan Wan dan dengan diriku sendiri. Padahal ucapan selamat tinggal untuk Rasmi tidak ada, apalagi surat.
Wan menerimanya dan mengantonginya. “Ucapan ulang tahun seperti biasa. Dibaca di rumah ya, Kak,” kataku.
Aku ikut mengantongi surat darinya. Suratnya hangat. Sampai menaiki kursi pesawat, surat itu masih hangat. Perasaan apa yang ia tulis di surat ini?
Saniang Ayu,
Ini Wan. Ini di tulis sebelum hari ulang tahun. Dua hari sebelum berangkat ke Berlin. Semoga surat ini bisa sampai dengan baik ya. Agar perasaan ini bisa lega sepenuhnya.
San, aku nggak pernah setuju dengan perspektif setiap orang itu ada masanya. Aku pasti bisa mempertahankan siapa saja yang harus tetap ada dan tiada. Kecuali jika dia mati, itu kendali Tuhan. Tapi kalau mempertahankan kamu di setiap masa yang akan aku lewati, aku harus bisa. Yah, kamu jangan mati duluan saja sih.
Hidup itu soal pilihan, kan, San. Mungkin pilihan itu bagi sebagian orang bisa salah, tapi buatku nggak. Atau kebalikannya. Karena orang-orang nggak pernah benar-benar tahu apa saja opsi-opsi lain selain pilihan yang dibuat, kan. Termasuk untuk lima tahun. Lima tahun lamanya buat tahu kalau kamu benar-benar pilihan yang aku punya. Pilihan yang memang ada di depan mataku, untukku, tapi nggak aku pilih. Pilihan yang seharusnya aku pilih, San. Tapi salahku buat bikin pilihan baru, bikin opsiku sendiri cuman karena aku ragu dan takut.
Padahal jumlahnya nggak seberapa ya, San. Rasa ragu dan takut itu. Mereka jadi bertambah besar cuman karena siapa pemiliknya. Pemiliknya itu pengecut, ragu dan takutnya jadi tambah besar.
Tapi, sekarang aku nggak takut lagi kok. Perasaanku bukan hal yang perlu aku takutkan, tapi perlu aku buktikan. Kamu bukan pilihan lagi, San. Tapi sudah tujuan.
San, Berlin itu jauh. Aku nggak akan bisa nyusul kamu dalam waktu singkat. Tapi semoga apa yang aku tulis bisa tersampai cukup dekat ya?
Salam,
Wan.
-
Aku sudah tolol. Aku marah. Sampai Berlin aku masih marah. Suratnya mendingin karena cuaca di Berlin. Aku memegang surat itu erat, mengepungnya dalam-dalam. Kenapa nggak bilang? Kenapa nggak dari kemarin-kemarin? Kenapa dari dua puluh tahun Saniang hidup, lima tahun mengenal, kemarin-kemarin yang sudah dilewati itu tidak bisa menuliskan surat itu? Kenapa harus sejauh Berlin? Kenapa dari lima kali ulang tahun dirayakan bersama, harus ulang tahun yang harus ini disampaikan?
Kalau saja dia bilang iya, surat yang aku tulis tidak akan pernah ada.
Wan,
Ini Saniang Ayu. Maaf aku bohong soal keberangkatanku. Tapi itu gak penting. Apa yang aku lakukan gak akan pernah penting. Aku cuman adik kelas waktu SMA. Berteman karena sekampus, bertemu karena satu klub, merayakan ulang tahun karena satu organisasi, berbicara karena berteman, bertemu, dan merayakan ulang tahun.
Setiap kesempatan yang aku punya akan selalu aku lewatkan. Kado khusus puisi yang aku buat—seharusnya ada, namun tidak ada karena aku akan menyamakan kadoku dengan anak organisasi lain. Tim yang seharusnya ada aku dan kamu di dalamnya, namun tidak ada karena aku diam diam menukarnya. Salahku melewati kesempatan-kesempatan yang aku punya. Aku pikir apa yang aku punya, perasaanku, kesempatanku, itu hal yang nggak akan berdampak apa apa. Aku tetap nggak punya kesempatan itu sama kamu. Aku cuman akan mengulur perasaanku sampai habis, entah karena apa nantinya. Sementara aku dulu pantang untuk berhenti. Aku tetap ingin perasaan ini ada, dengan begitu kamu nggak perlu tahu. Kamu nggak perlu ikut ambil pusing. Tetap dengan bahwa aku memang nggak punya kesempatan apapun sama kamu.
Tapi, Berlin itu jauh. Aku pikir Berlin juga sebuah kesempatan. Dihidupku nanti tidak ada lagi kamu, Kak. Jadi kata Rasmi, santai saja. Kamu nggak perlu ambil pusing karena di kampus nanti nggak ada aku lagi, di klub fotografi, di organisasi, kamu nggak lihat aku lagi.
Jadi cukup buatku untuk melepas kesempatan yang aku punya, dan memilih kesempatan lain untuk berhenti, Kak. Kalau kamu baca surat ini aku sudah duduk di rumahku yang baru. Aku sudah hidup lagi dilain tempat, jadi santai saja.
Rasmi salah. Dia pembohong. Wan orang yang tepat dan seharusnya waktu kami juga tepat.
Komentar
Posting Komentar