Langsung ke konten utama

se·nang a 1 puas dan lega, tanpa rasa susah dan kecewa, dan sebagainya

Sering sekali sebelum tidur alam bawah sadarku bertanya dengan berulangkali karena aku selalu kebingungan menjawabnya. Setelah aku menarik selimut, menghirup aroma pengharum pada seprei bantal, memasang alarm pukul lima, pertanyaan itu akan terus bermunculan. Bagaimana hari ini? Senang tidak? Dan aku selalu kebingungan menjawabnya. Kadang masih tidak mengerti takaran senang, bahagia, suka untuk hal-hal yang aku lewati. Karena sekelilingku yang selalu menyebutkan kapan waktuku untuk senang. Seperti kalau aku bisa berjalan waktu kecil, mungkin mereka bilang, “Pasti seneng kalau bisa naik sepeda.” Atau waktu aku lulus sekolah dasar dengan nilai tertinggi, mereka akan bilang, “Wah, seneng nih kalau bisa dapet SMP yang terbaik.” Kadang aku kebingungan, sebenarnya senang bahagia itu ada dimana, ya? Kenapa mereka selalu dicari-cari ya? Sebenarnya butuh berapa banyak hal untuk mencapai senang?

Enam belas tahun aku selalu mencari dimana letak senang yang sebenarnya orang kira. Yang sebenarnya dibayangkan orang lain, yang dimaksud orang lain, yang orang lain mau itu, senang yang bagaimana?

Rupanya, senang tidak harus dicari.

Mungkin, senang ada dibeberapa tempat yang orang kira. Ya tidak salah juga. Seperti, siapa yang tidak senang berlibur di Eropa? Siapa yang tidak senang mendapatkan Universitas terbaik? Siapa yang tidak senang memiliki barang baru? Senang itu banyak jenis dan caranya.

Bukan dari hal kecil atau besar. Tapi, dari bagaimana kita memandangnya. Bagaimana caranya untuk menikmati setiap inci senang yang didapat. Karena apapun bentuknya, senangnya akan tetap sama, karena kita mau menerima senang itu. Hal kecil yang terlihat sederhana, perasaan senangnya tetap akan sama dengan yang lainnya.

Karena memang tidak perlu terukur oleh apapun, rasa senang kamu tidak memerlukan banyak alasan.

Mulai malam berikutnya, aku sudah bisa menjawab tanpa perlu pengulangan pertanyaan. Malam pertama aku bisa menjawab, “Senang! Hari ini di sekolah ada tugas drama, sepulangnya kehujanan tapi aku nggak bawa jas hujan, akhirnya hujan-hujanan!” Malam kedua dan ketiga, “Senang! Karena hari ini nilai ulanganku bagus, meski soalnya cuman ada tiga soal.” Atau pula, “Senang karena hari ini aku bisa jawab pertanyaan guruku waktu presentasi!”

Iya. Jawabannya tentang aku—kita, yang senang. Yang tidak perlu batasan khusus, takaran, ataupun banyak syarat untuk mengungkapkan banyak hal yang menyenangkan. Aku senang masih bisa menulis tulisan ini. Aku senang besok hari senin tapi aku masih bisa menulis di depan laptop padahal PR kimia ku untuk besok belum dikerjakan (habis ini aku kerjakan aku berjanji).

Jadii hari ini kalian senang nggak?


Komentar

Postingan populer dari blog ini

things i could never say to you -noni

Namanya Wan. Wan itu nama tengahnya. Sementara, Areksa itu nama depannya yang tidak pernah dia suka. Katanya, nama itu nggak pernah didengar orang-orang. Jadi malas dipanggil berbeda dari nama pasaran yang lain. Padahal, aku sudah bilang kalau nama itu unik. Kental suku Jawanya mampu menjelaskan lebih dari wajah dan kulit sawo matangnya. Makanya, aku panggil dia Wan, sampai sekarang, sudah hampir empat tahun ini. Wan nggak tahu aku menulis ini. Karena dia nggak pernah suka aku menceritakan hal-hal tentangnya kepada banyak orang. Tapi, aku suka. Aku suka banyak orang kenal dia. Dia kocak sih. Wan anak bungsu. Hidupnya yang berjalan cukup damai dengan dua kakaknya; laki-laki dan perempuan itu tahu-tahu harus berhadapan denganku yang memiliki dua adik laki-laki menyebalkan. Eh, aku yakin dia nggak tahu aku punya dua adik. Habis makan dia selalu cuci piringnya. Rajin ya. Begitu yang terlihat dikamera sih. Kakaknya itu dua. Yang laki-laki wajahnya persis sekali. Kakak perempuannya cantik, s...

Jarum Jam dan Pukul 12—soon.

"Kamu akan tetap menjadi yang terbaik untukku, Pram. Patah hati yang terbaik." Ketika kita tahu bahwa tokoh utama sejati hanyalah di hidup sendiri.  Aku jadi paham, mengapa manusia suka sekali mementingkan diri sendiri.  o0o "Prama memang membuatku bahagia, Rin. Tapi, Bian. Bian melengkapi kebahagian yang sebelumnya sudah aku punya." Dan aku sadar, perasaan yang ku punya ini akan menjadi keegoisan paling besar. o0o Patah hati yang menggerogoti hati membuatnya menutup pintu masuk hadirnya perasaan. Meski, sulit melupakan Prama, ia tak akan lengah untuk dipatahkan kembali. Lagi pula, hadirnya Bian membuat dirinya melupakan luka terbaiknya itu. Tapi satu fakta ia lupakan, bahwa  ia memang pemilik hatinya. Tapi, ia, bukan pengendalinya. "Kak Bian?" "Ya?" "Kalau aku jatuh cinta, bagaimana?" "Aku tidak bisa membantumu, itu, kan, perasaanmu." "Meski orang itu adalah Kak Bian?" Jarum Jam & Pukul 12 by Jua Zahra

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 2

 Binar harus dipaksa utuh ketika separuh dunianya menarik paksa untuk terlepas. Ia harus menerima kekalahan pada rasa sakit yang ada. Kalah dari taruhnya membungkam segala-galanya. Pram, aku menyanyangimu lebih dari rasa sayangku pada waktu yang berjalan dan menghimpit dunia kita untuk dipaksa saling bersisian. Kalau rumah yang kamu maksud adalah tempat berteduh, bagiku kamu adalah tanah kepulanganku. Dinding cat krem di setiap incinya adalah sebagian rasa nyamanku ‘tuk beristirahat usai dipaksa kuat walau isinya hanya kepura-puraan. Maka, kamu harus tahu bahwa kesinggahan itu adalah hal terbaik sepanjang masanya. Ruang tamunya, kamar tidurnya, gudang berdebunya, selalu jadi kegemaranku untuk duduk dan tertidur tanpa ingin bangun lagi. Pergilah, Pram. Kemanapun dibawanya rumah itu, kamu tetap menjadi yang terbaik untukku. Kamu ‘kan menjadi patah hati terbaikku, Pram. O0o “Prama hari nggak masuk.” Ada yang selalu bisa menarik atensi perempuan bermata bundar itu. Pertama, seekor anak...