Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari Desember, 2022

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 2

 Binar harus dipaksa utuh ketika separuh dunianya menarik paksa untuk terlepas. Ia harus menerima kekalahan pada rasa sakit yang ada. Kalah dari taruhnya membungkam segala-galanya. Pram, aku menyanyangimu lebih dari rasa sayangku pada waktu yang berjalan dan menghimpit dunia kita untuk dipaksa saling bersisian. Kalau rumah yang kamu maksud adalah tempat berteduh, bagiku kamu adalah tanah kepulanganku. Dinding cat krem di setiap incinya adalah sebagian rasa nyamanku ‘tuk beristirahat usai dipaksa kuat walau isinya hanya kepura-puraan. Maka, kamu harus tahu bahwa kesinggahan itu adalah hal terbaik sepanjang masanya. Ruang tamunya, kamar tidurnya, gudang berdebunya, selalu jadi kegemaranku untuk duduk dan tertidur tanpa ingin bangun lagi. Pergilah, Pram. Kemanapun dibawanya rumah itu, kamu tetap menjadi yang terbaik untukku. Kamu ‘kan menjadi patah hati terbaikku, Pram. O0o “Prama hari nggak masuk.” Ada yang selalu bisa menarik atensi perempuan bermata bundar itu. Pertama, seekor anak...

Jarum Jam & Pukul 12: BAB 1

 “Ayo kita pilih bintangnya. Kamu mau yang mana?” “Itu. Yang paling terang,” begitu ia menjawab tanpa ragu, telunjukknya tepat mengarah tanpa meleset pada setitik cahaya paling berkilau dari bola mata coklatnya. “Kalau diberi nama, menurut kamu siapa namanya?” katanya bertanya tanpa menoleh. “Binar.” “Apa?” “Binar namanya.” Sekarang, ia menoleh. “Aku mau Binar jadi bintang paling terangnya.” “Dasar bego.” “Aduh!” Selimut itu ikut turun memeluk pemiliknya yang baru saja mencium karpet berbulu diatas keramik bercorak. Dielus kepalanya lembut yang baru saja menyapa kaki meja kayu, matanya berusaha membuka dengan nyawa yang ia kumpulkan sedemikian rupa, mengorek darimana asalnya alam bawah sadar ini datang tanpa dipanggil sebelum umpatan itu muncul bersamaan dengan tragedi mengenaskan barusan. “Kali ini aku nggak mau nolongin kamu. Kamu bego.” Perempuan yang masih memakai piyama micky mouse setara dengan seprei tidurnya berusaha berdiri sendiri, wajahnya kecut penuh kesal melihat keda...

pikiran berisik binar.

 Pikiranku berisik, Pram. Persis seperti Alun-alun Semarang yang kamu bilang keramaiannya seperti langkah sepatu kita ketika membolos pertama kali. Berlarian seperti pencuri roti tawar di kedai kue tanpa tahu arah bak kurir tersesat karena kita sama-sama tak memikirkan bagaimana nantinya akan terjebak dalam gudang amarah penjaga sekolah. Saat itu pikiran kita melayang jauh tanpa kenal cemas dan takut. Kita hanya mengenal bahwa aku ada dan kamu ada, sudah bagian dari jalan layang atensi kita. Kini disekitarnya hanya trotoar kecil yang tak sebanding dengan wajahmu, persis seperti lampu-lampu kotanya, kereta-kereta delmannya, atau gedung-gedung kota tua yang tak kalah menawannya.  Aku tak mengenal takut lagi, Pram. Karena aku tau, saat itu kamu ada. Maka untuk apa aku memeluk selimut kala hujan deras jika aku punya dekapan hangat di setiap rintiknya? Karena dulu aku punya teh hangat manis yang bisa kuminum kapan saja tanpa khawatir akan mendingin atau tidak, sebab ia ada pada bul...